Sabtu 03 Feb 2018 21:21 WIB

IABIE: Perguruan Tinggi Asing di Indonesia Perlu Dikaji Lagi

10 Perguruan Tinggi Asing akan diberikan izin pada 2018.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Didi Purwadi
Ketua Umum Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE) Bimo Sasongko saat melakukan kunjungan ke Kantor Republika, Jakarta, Rabu (10/1).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua Umum Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE) Bimo Sasongko saat melakukan kunjungan ke Kantor Republika, Jakarta, Rabu (10/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE), Bimo Sasongko, menilai impor perguruan tinggi asing (PTA) bisa diterima dengan tangan terbuka jika hal itu membawa kemajuan bangsa secara konkret dan mampu bersimbiosis mutualisme dengan perguruan tinggi lokal. Namun yang menjadi masalah, menurutnya, jika impor PTA tersebut dilakukan secara instan dan persyaratannya yang sangat longgar serta tanpa akreditasi yang semestinya.

IABIE menyarankan alternatif atau pilihan lain yang lebih praktis. Menurut Bimo, alternatif itu bisa dilakukan dengan pengiriman besar-besaran pemuda Indonesia untuk kuliah di perguruan tinggi luar negeri terkemuka.

"Alternatif ini membutuhkan metode khusus yang dirumuskan oleh mereka yang pernah sukses belajar di luar negeri," kata Bimo, dalam keterangan rilis yang diterima Republika.co.id, Sabtu (3/2).

Saran alternatif ini bisa diawali dengan program super matrikulasi dan pelatihan bahasa di dalam negeri. Selanjutnya, tes masuk perguruan tinggi luar negeri digelar dengan bertempat di Jakarta.

IABIE yang ribuan anggotanya merupakan lulusan perguruan tinggi di luar negeri terkemuka, mencoba memberikan sumbangan pemikiran terkait masuknya PTA di Indonesia. Bimo menekankan agar masuknya PTA diberlakukan persyaratan secara ketat. Menurutnya, operasional PTA jangan hanya menekankan aspek bisnis atau komersial yang melakukan perluasan pasar ke Indonesia.

Ia juga menilai, tradisi ilmiah dan keunggulan ristek di universitas terkemuka dunia yang sudah tumbuh ratusan tahun, tidak mungkin dicangkok atau dipindah secara instan ke Indonesia. Karena, menurutnya, hal itu sudah berakar kuat dengan budaya bangsanya dan juga sudah bersenyawa dengan karakter dan etos kerja bangsa maju tersebut.

"Pemerintah perlu mengkaji secara teliti terkait dengan pilihan warga negara apakah mereka sebaiknya kuliah langsung di LN dan bisa memilih perguruan tinggi terkemuka di sana, atau cukup masuk PTA yang beroperasi di Indonesia,'' katanya. ''Saatnya pemerintah membantu masyarakat membuat perbandingan yang akurat tentang prospek dan biaya untuk dua pilihan tersebut.''

Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohammad Nasir, sebelumnya mengemukakan syarat wajib bagi PTA yang akan membuka akses di Indonesia. Salah satunya yakni PTA harus mau berkolaborasi dengan perguruan tinggi swasta (PTS). Lokasi kampusnya pun akan ditentukan oleh pemerintah dan termasuk penentuan program studi (prodi).

Rencananya, ada lima hingga 10 PTA yang akan diberikan izin pada 2018. Menurut Menteri Nasir, ketentuan PTA telah termaktub dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Hingga saat ini, PTA yang berminat membuka akses di Indonesia sudah cukup banyak. Salah satunya, Central Queensland Univercity, Univercity of Cambridge dan National Taiwan Univercity. Prodi PTA yang akan diperbolehkan di Indonesia terbatas pada bidang Science, Teknologi, Engineering, dan Mathematics (STEM).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement