Sabtu 03 Feb 2018 12:20 WIB

Polemik Perguruan Tinggi Asing

Pengiriman mahasiswa ke luar negeri lebih menjawab tantangan masa depan.

Universitas Cambridge
Foto: planetware.com
Universitas Cambridge

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Bimo Joga Sasongko, Pendiri Euro Management Indonesia/Lulusan North Carolina State University, North Carolina, USA.

Pemerintah membuka pintu lebar masuknya perguruan tinggi asing (PTA). Langkah pemerintah itu menimbulkan polemik hebat. Pro dan kontra mencuat tanpa ruang lingkup yang jelas. Itu terjadi karena tujuan pemerintah membuka cabang PTA belum terdefinisi detail.

Pemerintah baru sebatas menyatakan, PTA hanya akan membuka program studi yang terkait science, technology, engineering, and mathematics (STEM). Itu pun belum disertai karakteristik STEM seperti apa yang dibutuhkan.

Juga belum jelas seperti apa keterkaitan prodi PTA dengan kebutuhan pembangunan nasional saat ini dan mendatang. Mestinya, prodi STEM yang akan menjadi fokus PTA terkait dengan penguasaan iptek dalam dimensi systems, process, dan product.

Dengan demikian, prodi yang dijalankan tidak hanya mencetak SDM yang hanya mengusaai kulitnya teknologi saat ini, tetapi bisa menguasai kuning telurnya teknologi terkini. Jadi, prodi tersebut bisa langsung kompatibel dengan peningkatan kapasitas inovasi nasional yang pada saat ini telah tertinggal.

Penguasaan teknologi perlu ruang imajinasi yang ditunjang laboratorium yang sesuai dengan perkembangan zaman. Seharusnya, misi prodi STEM mampu meningkatkan daya kreatif bangsa untuk menciptakan bermacam inovasi. Jika Indonesia ingin menjadi bangsa yang unggul, menurut Steve Jobs, harus "be hungry and foolish in mastering technology".

Menurut BJ Habibie, penguasaan STEM bisa melalui beberapa jalur. Jalur pertama adalah akuisisi teknologi melalui proyek transformasi berupa program bertahap di lapangan kerja. Jalur ini akan melahirkan insinyur profesional yang lahir sebagai produk pembudayaan dalam lapangan kerja. Ujiannya bukan berupa tes tulisan, melainkan desain dan produk nyata.

Jalur kedua adalah lewat pendidikan, untuk kemudian menguasai teknologi melalui sekolah menengah kejuruan (SMK), universitas, S-1, S-2, dan S-3 yang didukung dengan laboratorium dan bengkel inovasi. Dua jalur tersebut, menurut BJ Habibie, memiliki peran strategis untuk membangun SDM terbarukan, manusia bersumber daya iptek secara berkesinambungan. Sesuai dengan filosofi sekumpulan Burung Bangau yang terbang bersama menembus rintangan alam.

Mereka harus terbang maju bersama dalam kondisi alam seperti apa pun. Filosofi itu analog dengan akuisisi untuk menguasai teknologi mesti secara berjenjang dan maju bersama berkesinambungan. Filosofi di atas harus menjadi pedoman jika ingin mencetak SDM bidang STEM lewat perguruan tinggi.

Sebetulnya, ada alternatif atau pilihan yang lain yang lebih praktis dan efektif, yakni pengiriman besar-besaran pemuda Indonesia langsung kuliah di luar negeri (LN) pada perguruan tinggi terkemuka yang diawali dengan program supermatrikulasi dan pelatihan bahasa asing.

Kemudian, dilakukan tes masuk perguruan tinggi LN bertempat di Jakarta. Alternatif di atas membutuhkan metode khusus yang dirumuskan oleh mereka yang pernah sukses belajar di LN.

Mereka juga perlu memahami bahwa tradisi ilmiah dan keunggulan ristek di universitas terkemuka dunia yang sudah tumbuh ratusan tahun, tidak mungkin dicangkok atau dipindah secara instan ke Indonesia. Karena, hal itu sudah berakar kuat dengan budaya bangsanya. Juga, sudah bersenyawa dengan karakter dan etos kerja bangsa maju itu.

Pemerintah perlu mengkaji secara teliti terkait pilihan warga negara apakah mereka sebaiknya kuliah langsung di LN atau cukup masuk PTA yang beroperasi di Indonesia.

Saatnya pemerintah membantu masyarakat membuat perbandingan yang akurat tentang prospek dan biaya untuk dua pilihan di atas. Bisa jadi biaya kuliah PTA justru lebih mahal ketimbang kuliah langsung ke LN.

Apalagi, beberapa PT terkemuka di Eropa hingga kini telah membebaskan biaya kuliah bagi mahasiswanya. Mereka hanya mengeluarkan biaya hidup selama belajar.

Pemerintah menyatakan tidak akan mengontrol atau membatasi besaran atau tarif biaya kuliah yang dipasang PTA, berbeda dengan besaran uang kuliah di PTN, yang tetap ada jatah insentif 20 persen untuk mahasiswa yang kurang mampu.

Dengan demikian, besaran uang kuliah PTA nuansanya sangat liberal dan tentunya sangat mahal. Polemik beroperasinya PTA di Indonesia sebaiknya disertai dengan solusi alternatif yang bisa menjadi pertimbangan bagi masyarakat untuk melakukan pilihan terbaik.

Perlu pengkajian yang mendalam antara memasukkan pemuda ke PTA dengan biaya yang lebih mahal dari PTS yang sudah eksis ataukah lebih baik mendorong pemuda Indonesia langsung kuliah di LN dengan biaya yang relatif sama dengan kalau mereka masuk PTA di dalam negeri.

Jika mereka langsung belajar di LN, lebih banyak nilai tambah dan lebih adaptif dengan kemajuan zaman. Karena, para lulusan SMA secara psikologis masih sangat idealis dan mudah melakukan revolusi mental saat belajar ke luar negeri.

Begitu pun dari segi rentang usia, lulusan SMA memiliki waktu yang cukup untuk mendalami iptek secara komprehensif. Keunggulan untuk mencetak SDM unggul dengan mengirimkan ke LN karena sistem pendidikan di sana yang menekankan sistem lab based education (LBE).

Sistem LBE adalah pendidikan yang dikaitkan dengan proyek riset atau tugas akhir di laboratorium canggih. LBE tidak maungkin bisa dicabut atau dipindahkan secara instan oleh PTA yang beroperasi di Indonesia. Karena, sistem LBE ini juga terkait akar budaya ilmiah dan mentalitas atau karakter yang melekat pada sebuah bangsa maju.

Pengiriman mahasiswa ke luar negeri lebih menjangkau tantangan masa depan. Hal ini searah dengan paradigma global brain circulation, seperti yang dikemukan oleh Paul Krugman, penerima hadiah Nobel bidang ekonomi.

Mereka yang belajar di luar negeri sejak lulus SMA lebih mudah menjadi sosok versatilis. Sosok itu telah menjadikan kompetensi dan pengalaman sewaktu kuliah dan magang kerja di LN sebagai modal penting untuk memecahkan berbagai persoalan bangsa.

Mereka juga mampu menyerap nilai dan karakter unggul sebuah bangsa maju serta memahami transformasi sosial dan adanya disrupsi teknologi yang tentunya hadir lebih dulu di negara maju ketimbang di Tanah Air.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement