Jumat 02 Feb 2018 12:25 WIB

Saat Wanita Non-Muslim Mengenakan Hijab Sehari Penuh

Di hari jilbab dunia ini wanita-wanita non-Muslim ikut memakai hijab selama sehari.

Marniati, Jurnalis Republika
Foto: Dok Pribadi
Marniati, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Marniati

Hari Jilbab Dunia atau World Hijab Day (WHD) diperingati setiap 1 Februari. Pendiri WHD, Nazma Khan, mengatakan, gerakan WHD didirikan berdasarkan pengalaman pribadinya yang sering memperoleh diksriminasi karena jilbab yang ia gunakan.

Dilansir Aljazirah, Kamis (1/2), Nazma Khan tumbuh di Bronx New York City dengan mengenakan jilbab. Ia mengaku, sejak usia muda telah akrab dengan diskriminasi karena agama.

Wanita berdarah Bangladesh ini bermigrasi ke Amerika Serikat pada usia 11 tahun. Sejak saat itu ia  terus-menerus mengalami intimidasi hingga SMA. "Setiap hari saya akan menghadapi tantangan yang berbeda. Saya dikejar, diludahi, dikelilingi oleh manusia, disebut teroris, Usamah bin Ladin, dan lain-lain," katanya.

photo
Wanita Alabania mengenakan hijab di sela peringatan World Hijab Day di Tirana, Albania, Rabu (1/2). Setiap 1 Februari diperingati sebagai hari Hijab se-Dunia sejak 2012.

Agar terhubung dengan wanita lain yang menghadapi tantangan serupa karena jilbab mereka, Khan mengundang wanita Muslim untuk berbagi pengalaman mereka tentang diskriminasi di media sosial. Saat itulah Khan memutuskan untuk meluncurkan Hari Jilbab Dunia (WHD).

Setiap 1 Februari, WHD akan mengundang semua wanita dari berbagai agama, latar belakang, dan etnis untuk memakai jilbab selama satu hari sebagai bentuk solidaritas kepada wanita Muslim di seluruh dunia.

Wanita yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini dapat membagi pengalaman mereka di media sosial dengan menggunakan tagar #WorldHijabDay. Tahun ini tema yang diusung #StrongInHijab.

"Dengan mengenakan jilbab selama satu hari maka mereka akan melihat bahwa ia tidak berbeda dari wanita lainnya," ujar Nazma Khan.

photo
Wanita Alabania berswafoto setelah mengenakan hijab di sela peringatan World Hijab Day di Tirana, Albania, Rabu (1/2). Setiap 1 Februari diperingati sebagai hari Hijab se-Dunia sejak 2012.

Ia mengatakan, pengalaman satu hari ini akan membuat semua pihak melihat jilbab dari sudut pandang yang berbeda. Sejak didirikan pada 2013, WHD telah memiliki lebih dari 70 duta besar global dari lebih 45 negara. Selain itu, perempuan dari sekitar 190 negara telah berpartisipasi dalam acara tahunan tersebut.

Nazma Khan optimistis media sosial telah memberi wanita Muslim sebuah platform untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka. Dengan memperingati Hari Jilbab Dunia, organisasi ini sedang membangun jembatan pemahaman, kesadaran, dan pendidikan tentang jilbab.

"Jilbab bukan hanya sepotong kain yang saya gunakan untuk menutupi kepala saya. Ini jauh lebih dari itu. Jilbab mewakili siapa saya sebagai pribadi," ujar Nazma Khan.

Ellie Lloyd, seorang Kristen Inggris, dan anak perempuannya yang berusia 11 tahun termasuk di antara mereka yang mencoba mengenakan jilbab saat peringatan WHD. Menurut pengakuannya, saat ia memakai topi, mengurai atau mengepang rambutnya, tak ada orang yang berprasangka.

"Jadi, apakah adil jika seorang wanita memutuskan memakan jilbab lalu dihakimi?" tanyanya.

"Saya percaya wanita harus bebas dari prasangka dan diskriminasi karena pilihan mereka untuk menutupi rambut mereka," kata Lloyd, yang juga duta besar WHD Qatar.

Seorang warga asli Ceska yang bekerja di Inggris, Miroslava, mengaku telah memperoleh banyak perlakuan diskriminasi sejak memutuskan menggunakan jilbab empat tahun lalu. Perlakuan itu mulai dari kekerasan verbal hingga ancaman pembunuhan.

"Beberapa pekan setelah saya pindah ke tempat baru, saya pulang ke rumah dan menemukan pesan yang disemprotkan di atas jendelaku: 'Ini bukan negara Anda!'" ujar perempuan 35 tahun tersebut.

Direktur Eksekutif untuk bagian New York di Council on American-Islamic Relations (CAIR), Afaf Nasher, percaya bahwa kegiatan tahunan ini membantu memecahkan stereotip palsu tentang jilbab.

"Seorang wanita Muslim mengenakan jilbab dipandang asing, tunduk, dan mengalami kemunduran," katanya.

Secara global, kelompok advokasi telah melaporkan adanya kejadian Islamofobia dan kejahatan kebencian dalam beberapa tahun terakhir. Warga Los Angeles Ojaala Ahmad mengatakan, jilbab membuat identitas Muslim sangat mudah diidentifikasi sehingga sering menjadi sasaran Islamofobia.

Menurut laporan CAIR setelah pemilihan Presiden Donald Trump, jumlah kejahatan kebencian anti-Muslim di AS meningkat 91 persen pada paruh pertama 2017, dibandingkan dengan periode yang sama pada 2016. "Jilbab wanita Muslim menjadi pemicu 15 persen insiden," kata kelompok tersebut.

Sementara, berdasarkan laporan pada September 2017, wanita Muslim di Inggris juga mengalami diskriminasi di pasar kerja. Peluang wanita Muslim untuk memperoleh pekerjaan tiga kali lebih kecil dari wanita lainnya.

Organisasi Hari Jilbab Dunia bekerja untuk membangun sebuah program pendidikan yang disebut Corporate Anti-Islamophobia Programme (CAIP) untuk mengurangi diskriminasi terhadap umat Islam di sektor korporasi.

Ada kemarahan di kalangan wanita Muslim di Eropa tahun lalu ketika Pengadilan Tinggi Eropa memutuskan bahwa pengusaha berhak melarang staf mengenakan simbol keagamaan yang terlihat seperti jilbab.

Bianca, seorang warga Hungaria yang tinggal di ibu kota Budapest, mengatakan pimpinannya di sebuah perusahaan multinasional memperingatkan untuk tidak mempekerjakannya. Alasannya karena ia masuk dalam golongan teroris.

"Penghinaan setiap hari adalah hal yang biasa, terutama karena politisi kita mulai membangun kampanye mereka atas kebencian terhadap imigran Muslim," kata perempuan berusia 26 tahun itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement