Jumat 02 Feb 2018 05:17 WIB

Jakarta Saja Panen, Masa Masih Mau Impor Beras

Rencana impor beras ini terus mendapat penolakan karena dianggap tidak rasional.

Rep: Oleh: Mas Alamil Huda, Halimahtus Sa'diyah/ Red: Elba Damhuri
Pedagang menata karung beras di salah satu agen penjual beras di Pasar Palmerah, Jakarta, Kamis (1/2).
Foto: Republika/Prayogi
Pedagang menata karung beras di salah satu agen penjual beras di Pasar Palmerah, Jakarta, Kamis (1/2).

REPUBLIKA.CO.ID  Ironi kerap terjadi di negeri ini. Di saat panen padi bermekaran di banyak pusat-pusat pertanian, pemerintah malah membuka keran impor beras. Padahal, kota Jakarta saja yang selama ini tidak memiliki citra dan catatan sebagai kota pertanian pun menikmati panen beras.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan senyum ceria memanen padi di area pertanian di kawasan Cakung, Jakarta Timur, Selasa (23/1). Ia ditemani jajaran pejabat Pemprov DKI saat memanen padi di kawasan inspeksi Banjir Kanal Timur itu.

Dengan memegang sabit di tangan kanannya, Anies memotong tangkai padi siap panen secara simbolis. Mengenakan seragam dinas berwarna coklat, Anies pun tak lupa memakai caping gunung. Caping gunung adalah topi dari anyaman bambu berbentuk kerucut yang biasa digunakan petani saat di sawah.

"Di lokasi ini ada sekitar tiga hektare (lahan persawahan) dan alhamdulillah ditanam bulan Oktober, November dan sudah panen kira-kira lima ton per hektarenya," kata Anies usai memanen.

Anies seolah ingin memperlihatkan bahwa Jakarta bukan cuma kumpulan gedung pencakar langit dan banyaknya kendaraan berseliweran di jalan saban hari. Jakarta juga memiliki areal sawah yang cukup luas yang panennya bisa dinikmati karena berasnya pun berkualitas baik.

Varietas padi yang dipanen golongan IR 22 dan Inpari 22 yang tahan hama wereng dan penyakit pelepah daun. Anies berpesan agar tetap menjaga ekosistem di Jakarta, karena ibukota negara ini adalah sebuah ekosistem yang lengkap.

"Dan kita ingin sekali warga Jakarta ini menyadari bahwa di Jakarta itu ada kehidupan modern dengan basis industri, tetapi ada juga kehidupan pertanian, kehidupan kesederhanaan yang ini semua harus kita sadari," kata Anies.

Jakarta panen beras memang agak janggal terdengar. Tapi itulah kenyataannya. Anies Baswedan di tengah gemuruh ide impor beras malah menjawabnya dengan tindakan nyata. Jika Jakarta saja panen padi apalagi daerah-daerah lain yang selama ini menjadi lumbung beras nasional.

Sindiran keras kedua giliran diperlihatkan Ketua MPR Zulkifli Hasan, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Ketua DPR Bambang Soesatyo, dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Ketiganya melakukan panen raya di Kabupaten Banyuasin, Sumatra Selatan, pada 29 Januari 2018.

Zulkifli Hasan menceritakan apa yang didengarnya bahwa harga gabah turun hingga Rp 1.300 per kg dan panen sedang berlangsung di mana-mana. “Kita tinggal menghitung hari memasuki panen raya, tetapi harga gabah jatuh,” kata Zulhasan, panggilan akrab Ketua Umum PAN itu.

Beberapa hari lalu diketahuinya harga gabah masih Rp 5.500 per kg, sekarang malah Rp 4.200 dan petani sudah rugi. Oleh karena itu, ia mengimbau untuk memuliakan petani. Maksud lebih jelasnyan lagi: jangan impor beras. "Impor beras kami tolak. Lihat kenyataan di lapangan," kata Zulkifli.

Bambang Soesatyo mengatakan produksi padi nasional pada 2017 mencapai 81.382.451 ton.  Produksi padi tersebut meningkat 2,56 persen dibanding produksi padi tahun 2016 yakni 79.354.767.  "Peningkatan produksi padi secara nasional ini tentu sangat menggembirakan kita semua," katanya.

Politisi Partai Golkar ini menegaskan, Indonesia sebagai negara agraris memiliki lahan pertanian yang sangat luas, tentunya produksi padi juga sangat besar.  Pada kesempatan tersebut, Bamsoet mengajak para petani untuk dapat meningkatkan produksinya sehingga dapat memenuhi stok beras yang menjadi kebutuhan masyarakat.

Pemerintah berencana akan mengimpor 500 ribu ton beras dari Thailand dan Vietnam. Rencana impor beras ini datang menyusul tingginya harga beras dan kelangkaan di lapangan. Rencana impor beras ini pun mendapat penolakan banyak kalangan karena dinilai banyak kejanggalan di sana-sini.

Padahal, dari data Kementerian Pertanian mencatat ada surplus beras 329 ribu ton pada Januari 2018. Data BPS menunjukkan sepanjang 2017 produksi beras mencapai 2,8 juta ton, sementara tingkat konsumsi beras 2,5 juta ton. Artinya, ada kelebihan beras 300 ribuan ton. Pertanyannya, mengapa masih harus impor beras?

Penolakan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Tengah secara tegas menolak impor beras. Anggota Komisi B DPRD Jawa Tengah, Riyono, menyebutkan kebijakan tersebut sangat merugikan petani dan memberikan dampak negatif terhadap perekonomian nasional.

Bagi Jawa Tengah, kebijakan impor beras bakal merugikan para petani yang dalam waktu dekat bakal memasuki masa panenraya. "Impor beras akan mengganggu keberlangsungan hidup petani," katanya, di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (1/2).

Impor beras secara tidak langsung menyudutkan posisi petani di tengah gencarnya program pemerintah untuk mampu meraih kembali swasembada pangan yang pernah disandang Indonesia pada 1984. Selain itu, impor beras tidak hanya membawa konsekuensi terhadap turunnya harga gabah di tingkat petani. Juga disinsentif bagi petani untuk meningkatkan produktivitas padi, mengurangi cadangan devisa, dan ketergantungan Indonesia terhadap pangan luar negeri.

Agar impor beras tak berulang di masa yang akan datang, Riyono menyarankan, pemerintah pusat secara berkelanjutan dengan meningkatkan produktivitas dan produksi padi secara nasional. Upaya tersebut, kata dia, dapat ditempuh pemerintah dengan melakukan promosi pengembangan sistem dan usaha agribisnis berbasis usaha tani padi.

Program promosi dapat dilakukan secara berkelanjutan menyangkut pengembangan infrastruktur mendukung usaha tani padi dan meningkatkan akses petani terhadap sarana produksi dan sumber permodalan. Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan mutu intensifikasi usaha tani padi dengan menggunakan teknologi maju, serta meningkatkan akses petani terhadap sarana pengolahan pascapanen dan pemasaran.

Riyono meminta harus ada kebijakan khusus mengenai pembelian gabah oleh pemerintah. "Apakah melalui Bulog atau Perusahaan Umum Daerah dengan harga yang sangat layak bagi petani," kata politikus dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

Menurut dia, kiat itu akan menggairahkan petani untuk berusaha secara intensif sekaligus mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan para petani. Di sisi lain, pemerintah wajib menjaga harga beras sehingga tidak merugikan konsumen, termasuk petani itu sendiri.

Baca Juga: Lima Kejanggalan Impor Beras

Jawa Tengah akan panen raya padi seluas 300 ribu hektare dengan produksi sekitar 6 ton per hektare. Dengan kondisi ini, pasokan panen nantinya mencapai 900 ribu ton. Sementara, harga Gabah Kering Panen (GKP) di petani saat ini turun sekitar Rp 800 per kilogram," ujarnya.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengusulkan pembentukan tim pengawas untuk impor beras. Usulan tersebut ia sampaikan dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (18/1).

Rapat itu tidak menghasilkan kesimpulan apa pun. DPR menyebut tidak puas dengan penjelasan pemerintah mengenai kondisi perberasan terkini yang berujung pada keputusan impor beras sebanyak 500 ribu ton.

Di penghujung rapat, Enggartiasto akhirnya menyarankan agar DPR membentuk tim pengawas untuk impor beras. "Saya usul pembentukan tim pengawas untuk impor ini. Kita dengan senang hati (diawasi). Karena kita lakukan impor juga secara terbuka," ujarnya.

Pimpinan Komisi VI DPR RI Teguh Juwarno menyatakan akan segera menggelar rapat internal untuk membahas pembentukan tim pengawasan. "Barangkali pekan depan sudah bisa jalan."

Teguh mengatakan, meski impor adalah ranah pemerintah, secara politis Komisi VI keberatan dengan keputusan tersebut. Apalagi, ia menganggap, pemerintah juga tidak mampu memberikan data yang meyakinkan terkait kondisi pangan saat ini.

Jadi, apa masih perlu impor beras?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement