Ahad 04 Feb 2018 00:32 WIB

Simbol-Simbol di Sekitar Kita

Para penafsir simbol di tahun politik belakangan ini larut berfantasi.

Ady Amar
Foto: dok. Istimewa
Ady Amar

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Ady Amar *)

Dalam kisah Mahabarata dan Ramayana, tokoh Bima selalu diposisikan berdiri tegak, kasar pribadinya, kasar tingkah lakunya ... bahkan, konon, berwajah hitam legam. Namun, simbol Bima itu dalam pewayangan versi Jawa, lewat kisah “Dewa Ruci”, tidak selamanya digambarkan sebagai pribadi “kasar” tadi. Dia pernah bersimpuh dan bertutur kata lembut. Simbol Bima dalam kisah itu di-Jawa-kan, khas kepribadian Jawa yang lembut dan tatakrama yang luhur.

Simbol bersentuhan pula dengan mitos, bahkan terkadang menyatu. Simbol dan mitos menjadi satu kesatuan, sehingga kita tidak tahu beda mana yang simbol mana yang mitos. Sebagai mitos, Dewa Ruci atau kisah Odise dalam kebudayaan Barat, menggambarkan bahwa kedewasaan atau kesuksesan baru bisa dicapai manakala diikuti dengan kerja keras.

Simbol-simbol hadir di seputar kita. Ada yang hadir dengan sendirinya, namun ada juga yang dihadirkan sebagai simbol yang ditafsiri dengan berbagai hal: Simbol persaudaraan, kerja keras, kerukunan ... dan bahkan perlawanan. 

Warna-warni pun menjadi simbol-simbol, merah, putih, kuning, biru, hijau, jingga ... semua memiliki simbol-simbolnya sendiri. Maka, merah ditafsir berani, putih suci, dan sebagainya. Tapi, simbol tidak identik dengan si pemakai warna dimaksud. Tapi merah, putih, dan warna-warni lainnya sudah terlanjur ditafsirsimbolkan.

Hidup terasa disimbol-simbolkan, tanpa kita menghadirkannya. Dipaksa ditafsir oleh konvensi, dan karenanya terpaksa kita menerima simbol-simbol itu, seolah bagian dari diri sendiri. Tidak fair memang, tapi itulah hidup di sekitar simbol-simbol.

***

Para penafsir simbol di tahun politik belakangan ini larut berfantasi, bahwa semua lalu ditafsir dengan simbol-simbol. Duduk, berjalan, menunduk, dan kata yang muncul dari mulut para pemimpin, sampai pakaian yang dikenakannya pun tidak luput ditafsirsimbolkan.

Pak Anies Baswedan, Gubernur DKI Jaya, hari-hari ini pun diputari oleh simbol-simbol, yang bisa jadi tanpa dia sadari, tapi ditafsir seolah-olah yang dibawanya atau dipakainya adalah simbol-simbol. Dan simbol-simbol itu melekat pada jabatan politis yang disandangnya.

Suatu saat Pak Anies memakai batik dengan kombinasi corak naga, maka itu ditafsir sebagai simbol melawan hegemoni “sembilan naga”. Tidak tahu persis apakah Pak Anies menyadari atau tidak, tapi tafsir yang muncul demikian. Bunyi tafsirnya adalah “perlawanan” darinya, dan itu disimbolkan dari baju batik yang dipakainya.

Terkadang simbol itu dimunculkan dengan absurdnya, dan lalu ditafsiri dengan konteks yang dihadapi seseorang. Dan, Anies memang hari-hari ini sebagai kepala daerah tengah berhadap-hadapan dengan kekuatan yang berkehendak pada proyek reklamasi yang dibatalkannya dengan alasan-alasan teknis prosedural.

Seseorang yang memiliki pengaruh memutus kebijakan, dan yang tengah berhadap-hadapan dengan kelompok “kuat” yang memiliki pula kecenderungan berhadap-hadapan. Maka, yang muncul di tengah-tengahnya adalah simbol-simbol yang bisa ditafsir. Simbol menjadi isyarat yang ditawarkan, semacam komunikasi bisu, simbol menjadi bahasa tersirat.

Namun, ada juga makna simbol yang hadir, tapi tidak dimaknai yang ditafsir secara umum. Dan itu karena yang bersangkutan tidak memahami makna simbol yang dipakainya. Atau bisa jadi yang bersangkutan tidak sedang memiliki persoalan yang perlu dihadap-hadapkan. Tentu tidak ada yang coba menafsir-nafsirkan, karena tidak punya nilai jual untuk ditafsir-tafsirkan.

Karenanya, simbol tidak perlu menjadi hal yang menghantui perasaan kita. Karena hidup tidak semestinya disimbol-simbolkan. Lalu ditafsir dengan tafsir umum yang tidak punya korelasi dengan sikap hidup kita, apalagi dengan agama (Islam), yang sama sekali tidak mengenal simbol-simbol yang diada-adakan sebagai tafsir atas diri seseorang.

Simbol yang ada lebih pada latar budaya dan lalu menyasar aspek-aspek lainnya, khususnya yang bersifat politis, lalu memunculkan hal-hal berkelindan yang dapat dimaknai politis. Tafsir atas simbol-simbol itu bersifat lokal adanya, yang belum tentu dimaknai sama di tempat lainnya, atau bisa jadi tidak punya makna sama sekali.

Nikmati sajalah simbol-simbol itu, dan sah saja dimaknai secara umum, tapi tentu janganlah men-judge, itu sama dengan tafsir yang diinginkan. Karena, terkadang seseorang tidak mengenal simbol-simbol itu, karena bukan budaya bawaan dari yang bersangkutan. Saya pun memprediksi Pak Anies—tentu banyak yang lain yang mengenalnya—bukanlah pribadi dengan latar belakang yang punya “sejarah” bersentuhan dengan budaya simbol-simbol itu. Maka, menghubungkan apa yang dipakainya dengan simbol-simbol yang ada, adalah upaya sia-sia.

Menikmati simbol-simbol di sekitar kita yang dimaknai macam-macam itu, suka atau tidak, akan terus hadir di sekitar kita... Dan kita dituntut bijak memaknai simbol-simbol yang ada dengan tidak menafsir sekehendaknya. Nikmatilah ...

*) Pemerhati masalah sosial dan keagamaan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement