Rabu 31 Jan 2018 22:14 WIB

Bersama Petani ala Klinik Tanaman IPB

Klinik Tanaman ini sangat memudahkan petani untuk menyampaikan keluhannya.

Rep: mohammad akbar/ Red: Winda Destiana Putri
Klinik Tanaman. Ilustrasi
Foto: Dok: Pribadi
Klinik Tanaman. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Mata Nurul Wirid Annisaa mengintip tajam lensa okuler yang ada di ujung mikroskop yang tersaji di atas meja. Namun, wanita asal Makassar, Sulawesi Selatan, ini tak sedang berada di dalam laboratorium. Mikroskop yang diintipnya itu justru berada di dalam mobil Elf berkelir hijau dengan tulisan Klinik Tanaman Terpadu-Fakultas Pertanian-Institut Pertanian Bogor-Departemen Proteksi Tanaman.

Saat mobil itu terparkir di areal terbuka, bagian jendela dari mobil itu berubah fungsi. Pada sisi luar dibuat terbuka yang memudahkan untuk berinteraksi dengan orang. Di bagian dalam, diletakkan meja sebagai tempat meletakkan mikroskop. Siang itu, Nurul bersama sejawatnya tengah melakoni aktifitas meneliti sampel yang diberikan petani kepada Klinik Tanaman.

Begitulah 'kerja kecil' yang dilakoni Nurul bersama Klinik Tanaman. Saat itu, Nurul bersama rombongan menghadiri kegiatan lapang yang di inisiasi oleh Gerakan Petani Nusantara (GPN) di Indramayu, Jawa Barat, akhir pekan lalu.

"Adanya Klinik Tanaman ini sangat memudahkan petani untuk menyampaikan keluhannya mengenai permasalahan di bidang pertanian karena di sini petani bisa berinteraksi langsung untuk membahas persoalannya di lapangan," kata Nurul.

Klinik Tanaman menjadi salah satu aktifitas pengabdian masyarakat yang dimotori oleh Departemen Proteksi Tanaman IPB. Pihak-pihak yang terlibat berasal dari dosen maupun mahasiswa. "Saya merasa mendapatkan banyak pengalaman ketika berinteraksi dengan para petani," kata Nurul yang kini masih berstatus sebagai mahasiswi program studi Fitopatologi ini.

Dr. Suryo Wiyono, ketua Departemen Proteksi Tanaman IPB, mengatakan Klinik Tanaman ini pada hakikatnya hadir untuk merespons persoalan petani dan dunia pertanian. Melalui kegiatan Klinik Tanaman, pihaknya pernah memberikan warning kepada pemerintah terkait adanya potensi outbreak hama wereng coklat di tanaman padi pada tahun lalu.

Saat itu, pihaknya sempat menerjunkan tim ke 30 kabupaten di daerah Jawa, Bali, Sumatra Selatan dan Lampung. "Saat itu kami melaporkan adanya potensi outbreak wereng yang diperkirakan membuat petani kehilangan hasilnya sampai 15 persen," katanya.

Dalam setiap kegiatannya, Suryo berusaha melibatkan para mahasiswa dari program sarjana (S-1) maupun pascasarjana (S-2). Sejak beberapa tahun terakhir, ia juga mencoba memberikan 'penugasan' kepada setiap mahasiswa yang pulang ke kampung halaman untuk melakukan pendataan persoalan petani di wilayahnya.

"Hasilnya luar biasa," timpal Bonjok Istiaji yang menjadi ketua Komisi Kemahasiswaan Departemen Proteksi Tanaman IPB.

Bonjok menjelaskan pada tahun lalu pihaknya sempat membuat riset yang dilakukan di 206 titik yang tersebar di 75 kabupaten/kota dan 20 provinsi. Dari kegiatan yang melibatkan ratusan mahasiswa itu, kata dia, ditemukan adanya benih padi impor yang masuk dalam jumlah besar. Di antaranya benih asal Cina yang membawa penyakit.

Berdasarkan hasil yang dilakukan tahun lalu, Bonjok mengungkap, terdapat 41,3 persen lokasi yang ditemui mahasiswa diduga mengalami serangan bacterial grain rot (BGR) atau penyakit busuk bulir bakteri pada tanaman padi. "Status organisme penganggu tanaman ini sebenarnya tergolong A2, harusnya ada dalam jumlah terbatas saja. Tapi di lapangan mahasiswa menemukannya dalam jumlah cukup banyak," ujarnya.

Temuan lainnya, kata Bonjok, sebanyak 45,8 persen benih dari pemerintah bergejala BGR. Lalu benih-benih yang dibeli dari toko memiliki 41,2 bergejala BGR. "Sedangkan para petani yang benihnya bikin sendiri hanya terserang BGR sekitar 36,5 persen saja."

Bonjok dan Suryo sepakat munculnya penyakit pada tanaman padi itu merupakan akibat dari pola tanam yang dilakukan sebanyak tiga kali dalam setahun. Kebijakan ini merupakan upaya pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) untuk mendongkrak produksi tanaman beras.

Pemerintah, menurut Suryo, memiliki cara pandang keliru untuk meningkatkan produksi tanaman. Tanaman itu adalah makhluk hidup yang memiliki tingkat kejenuhan. "Ketika dipaksa untuk panen tiga kali dalam setahun maka jangan heran menjadi banyak persoalan yang muncul, di antaranya kegagalan panen akibat serangan hama dan penyakit di hamparan tanaman padi para petani," ujarnya.

Berbekal dengan pengetahuan dan semangat mahasiswa, Suryo bertekad untuk lebih menggenjot lagi aktifitas Klinik Tanaman. "Kendala tentunya ada. Tapi kami akan terus melangkah maju untuk mendekati petani sekaligus bersama dengan mereka untuk mencarikan solusinya," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement