Ahad 28 Jan 2018 15:00 WIB

Merevitalisasi Semangat 4 Windu Pengendalian Hama Terpadu

serangan itu dalam dua musim tanam mengakibatkan kegagalan panen pada lahan sawah.

Merevitalisasi Semangat 4 Windu Pengendalian Hama Terpadu
Foto: DOk: Pribadi
Merevitalisasi Semangat 4 Windu Pengendalian Hama Terpadu

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU --  Sejumlah 120 petani dari 6 provinsi yait Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Lampung, Sabtu (27/1) berkumpul di Desa Nunuk, Indramayu, Jawa Barat. Para petani yang merupakan anggota Gerakan Petani Nusantara tersebut, berkumpul untuk melaksanakan Musyawarah Kerja Nasional tahun 2018, untuk memantapkan program-program organisasi.

Pertemuan kali ini mengambil tema "Merevitalisasi Semangat Empat Windu Pengendalian Hama Terpadu". Tema itu diambil dari pelajaran yang diterima para petani, khususnya petani padi yang sepanjang tahun 2017 lalu mengalami kerugian besar akibat gagal panen yang disebabkan menghebatnya serangan hama wereng yang diikuti oleh serangan virus kerdil hampa (klowor) yang menghancurkan ratusan ribu hektare sawah di Indonesia.

Kepala Klinik Tanaman Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Widodo mengatakan, serangan itu dalam satu tahun (2-3 kali tanam)  telah menyebabkan kegagalan panen pada lahan seluas tak kurang dari 650 ribu di 30 Kabupaten se-Indonesia. Dampaknya besar karena kabupaten-kabupaten yang terserang itu sentra produksi padi seperti sepanjang kawasan Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat mencakup Karawang, Subang, Indramayu dan Cirebon. Kemudian di kawasan Cilacap-Banyumas, Jawa Tengah, dan kawasan Bojonegoro-Pasuruan, Jawa Timur.

"Di Jawa Barat saja, sebagai lumbung pangan, serangan itu dalam dua musim tanam mengakibatkan kegagalan panen pada lahan seluas tak kurang dari 150 ribu hektare sawah," ujar Widodo dalam keterangan resmi.

Ketua Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB Dr. Ir. Suryo Wiyono mengatakan, kegagalan panen ini terjadi karena adanya salah kelola dalam pembangunan pertanian. Salah satunya adalah upaya menggenjot produksi padi dengan memaksakan pola tanam padi tiga kali dalam satu tahun atau yang dikenal dengan nama Indeks Penanaman (IP) 300. "Ini menyebabkan serangan hama menghebat karena tidak ada pemutus siklus  serangan hama," kata Suryo.

Kemudian hal ini diperparah dengan cara petani menghadapi serangan wereng yang tidak lagi mengindahkan kaidah Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Pendekatan pengendalian hama dengan cara cepat dan menggunakan input luar (pupuk kimia sintetis, pestisida, varietas unggul) yang sangat tinggi ternyata tidak efisien dan tidak berkelanjutan. Hal itu ditunjukkan dengan meningkatnya penggunaan pestisida dan insektisida sejak tahun 2014 menjadi  menjadi 11 liter per hektare per musim.

Yang juga mengkhawatirkan, kata Suryo, frekuens penyemprotan pestisida pada padi di Pantura Jabar juga mengalami lonjakan signifikan. Survei pada tahun 1991 menunjukkan, frekuensi penyemprotan pestisida pada padi hanya sebanyak 3 kali per musim. Sementara data tahun 2017 menunjukkan lonjakan pesat yaitu sebanyak 9-12 kali per musim tanam.

"Jumlah yang luar biasa besar dan memiliki dampak yang sangat luas. Tidak hanya terkait aspek lingkungan dan kesehatan, besarnya penggunaan pestisida juga memungkinkan rusaknya agroekosistem yang berujung pada terganggunya produksi seperti yang akhir-akhir ini terjadi," kata Suryo.

Karena itu, seperti diungkapkan oleh Ketua Gerakan Petani Nusantara Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, dalam kerangka ini, maka tidak ada pilihan lain selain memikirkan dan menguatkan kembali kebijakan PHT dalam arena pembangunan pertanian di Indonesia. "Ini seperti sejarah berulang, ketika Pak Harto, dulu pada akhirnya mencanangkan PHT pada 32 tahun lalu," kata Hermanu.

Hermanu bercerita, setelah berhasil meraih swasembada pangan pada tahun 1984 karena usaha pemerintah mendongkrak produksi pertanian melalui adopsi atas "revolusi hijau" yaitu dengan menggunakan salah satunya adalah pestisida dan insektisida kimia sintetis untuk mengendalikan hama, Pak Harto justru dikejutkan dengan meledaknya serangan wereng coklat di tahun 1986.

Laporan serangan wereng itu sendiri disampaikan oleh Menteri Keuangan saat itu, JB Sumarlin. Terkisah, selama bulan Juli-Oktober 1986, Sumarlin mendapatkan informasi dari berbagi sumber tentang adanya serangan wereng coklat, khususnya di Jawa Tengah. "Rupanya dengan sistem ABS (asal bapak senang-red), saat itu, laporan tersebut tidak sampai ke Pak Harto," kata Hermanu.

Kebetulan, Sumarlin pada 20 Oktober 1986 berkesempatan mendampingi Pak Harto ke Bontang untuk meresmikan sebuah proyek. Pada kesempatan itulah, Sumarlin, melaporkan hasil temuannya itu, ketika Pak Harto menanyakan kenapa Sumarlin melakukan kunjungan mendadak ke Jawa Tengah. Maka Pak Harto pun meminta Sumarlin meneliti lebih lanjut dan melaporkan hasilnya.

Laporan Sumarlin ke Pak Harto itulah yang kemudian menghasilkan kebijakan PHT yang ditandai dengan keluarnya Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1986 tentang Peningkatan Pengendalian Hama Wereng Coklat pada Tanaman Padi. Lewat Inpres itu, Pak Harto menginstruksikan untuk melakukan: Pertama, menerapkan PHT untuk pengendalian hama wereng batang cokelat dan hama-hama padi lainnya.

Kedua, melarang penggunaan 57 nama dagang formulasi (merek) insektisida pada padi. Ketiga, melaksanakan koordinasi untuk peningkatan pengendalian wereng cokelat. Keempat, melakukan pelatihan petani dan petugas tentang PHT.

Kebijakan ini kemudian diikuti dengan kebijakan pencabutan subsidi pestisida pada tahun 1989. Untuk memastikan kebijakan ini berjalan, pemerintah membentuk kelompok kerja menteri antar sektor dengan penanggungjawab utama di BAPPENAS.

Sayangnya, kebijakan PHT yang mengedepankan pengendalian hama secara ramah lingkungan ini, justru semakin ke sini semakin dilupakan. Alhasil, kejadian serangan hama wereng coklat dan virus kerdil hampa pada tahun 2017, seperti mengulang sejarah kegagalan pengelolaan pertanian yang sebenarnya sudah coba dikoreksi Pak Harto lewat PHT.

GPN sendiri, kata Hermanu, sebagai organisasi petani yang mandiri yang bertujuan memuliakan petani, memilih jalan untuk berbuat mengatasi masalah tersebut dengan merevitalisasi semangat PHT. "Kita adalah orang-orang memilih untuk menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan," tegas Hermanu.

Karena itu, GPN juga menjalin kerjasama dengan para ilmuwan dai berbagai universitas seperti UGM, Universitas Brawijaya dan IPB, untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi petani dengan pendekatan yang berbasis ilmu pengetahuan. "IPB sendiri alhamdulillah pak rektor sudah mencanangkan membangun rumah petani di dekat rektorat, nanti petani bisa datang untuk bisa mendiskusikan pemecahan berbagai masalah pertanian bersama para ilmuwan," ujarnya.

Sementara itu, terkait lokasi penyelenggaraan Munas di Desa Nunuk, seperti dikatakan koordinator GPN Jawa Barat H. Masroni, salah satunya adalah untuk mengingat sejarah. "PHT pertama, dilaksanakan di Desa Nunuk," katanya. Sayangnya petani Desa Nunuk, kata Masroni, justru ikutan "bandel" meninggalkan PHT. "Musim kemarin petani ada yang menyemprot tanaman padi bisa enam kali, pakai solar," katanya.

Kedua, kata Masroni, Desa Nunuk menyimpan potensi yaitu banyaknya petani muda yang memiliki berbagai keahlian, salah satunya adalah petani muda pengamat iklim yang dikomandani Tarsono, seorang petani muda setempat.

Kepala Desa Nunuk Mashadi, S.Ip mengatakan, sebagai langkah mengantisipasi serangan hama, sejak musim tanam 2017 lalu, 90 persen petani Desa Nunuk sudah sepakat untuk menolak pola tanam tiga kali setahun. "Kami sejak dulu setiap musim kemarau punya kebiasaan menanam palawija atau buah semangka untuk memutus siklus serangan hama. Semangka kami juga bagus pemasarannya bisa menembus Jawa Tengah dan Jawa Timur. Untuk padi, kami juga menanam varietas lokal leci," ujarnya.

Sementara itu, Sekjen GPN David Ardhian mengatakan, sebagai organisasi petani yang mandiri dan tidak tergantung siapapun, GPN akan terus menyampaikan kebenaran yang terjadi di petani. Terkait serangan wereng tahun lalu misalnya, GPN sudah menyampaikan data serangan tersebut ke pemerintah melalui Kementerian Pertanian dan Kantor Staf Kepresidenan, juga Komisi IV DPR.

"Informasi ini sempat dibantah dan dinyatakan tidak akurat, namun kita terus ungkapkan yang kita ketahui, mengungkap apa kenyataan yang terjadi dan dialami petani," tegas David.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement