REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebutkan, adanya disparitas pelayanan kesehatan yang cukup tinggi antara di wilayah terdepan, terluar dan tertinggal (3T) dan wilayah perkotaan di Indonesia. Penyebabnya disinyalir karena maldistribusi dokter dan fasilitas kesehatan yang masih belum merata di setiap daerah.
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar (PB) IDI Moh. Adib Khumaidi mengatakan, disparitas pelayanan kesehatan tersebut juga berpotensi menimbulkan terjadinya KLB penyakit menular seperti halnya di Kabupaten Asmat, Papua. Sebab itu, menurut dia, selain mendistribusi dokter atau tenaga kesehatan, pemerintah juga harus terlebih dahulu mengoptimalkan infrastruktur dan sarana prasana pelayanan kesehatan.
"Para dokter pasti berpikir begini: kita disuruh ke sana (wilayah 3T) di suruh untuk survive tapi kita gak dikasih amunisi untuk melakukan sebuah pelayanan kesehatan," jelas Adib kepada Republika, Ahad (28/1).
Selain itu, lanjut Adib, hingga saat ini belum ada payung hukum yang mengatur rasio dokter di suatu wilayah. Artinya, pemerintah daerah belum memiliki kewenangan untuk menyetop izin praktek dokter, jika rasio dokter di wilayah tersebut telah mencukupi.
"Kayak di Jakarta saja lihat, jumlah dokter bisa dikatakan sudah over load. Tapi kalau di daerah lain? Apalagi 3T sangat jauh bedanya," kata dia.
Karena itu, dia meminta agar pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mulai merancang regulasi terkait kebijakan rasio dokter tersebut. Meski begitu, dia juga menekankan rasio dokter tersebut harus tetap mempertimbangkan kesejahteraan dokter di setiap wilayah di Indonesia.