Sabtu 27 Jan 2018 10:11 WIB

Jakarta untuk Semua

Anies menegaskan Jakarta bukan cuma milik orang kaya. Jakarta milik semua golongan.

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Asma Nadia

“Berpuluh tahun becak coba dihilangkan, eh sekarang muncul lagi!” celoteh seorang ibu mengomentari kebijakan baru Gubernur Jakarta. “Dari Ali Sadikin sampai ganti berapa gubernur, urusan becak nggak selesai-selesai. Eh, sekarang malah boleh lagi,” lanjutnya.

Usia sang ibu yang sudah mencapai 60 tahun lebih, membuat ia cukup mengerti apa yang terjadi di Jakarta dari masa ke masa. Tak lama berselang anaknya, seorang eksekutif muda, ikut berkomentar, “Sekarang motor juga boleh lewat Sudirman-Thamrin lagi. Macet deh.”

Saya coba mencerna. Memang secara sederhana terlihat seperti kemunduran. Sesuatu yang sudah teratur, sudah terbatasi, dibebaskan kembali. Tapi, kegamangan ini justru membuat saya membuka berita demi berita seputar kiprah Anies dan Sandi yang menjadi headline berbagai media.

Becak dibolehkan kembali beroperasi di Jakarta. Membangun shelter Kampung Akuarium. Larangan motor di Sudirman-Thamrin dicabut. Rumah DP 0 rupiah mulai dibangun. Reklamasi ditangguhkan. Membuka Monas untuk kegiatan seni, budaya, dan keagamaan.

Perenungan panjang akhirnya justru membuat saya kagum dengan kebijakan pasangan gubernur dan wakil gubernur terpilih. Pertama, kebijakan Anies Sandi mempunyai semangat “Jakarta untuk Semua Warga”.

Selama ini tanpa sadar kita seolah terbawa arus, atas nama kemajuan, kita mengabaikan keberadaan rakyat kecil. Jakarta seakan hanya untuk mereka yang berduit, yang punya dana dan pemilik modal besar. Sedangkan, mereka dengan modal kecil harus berjualan, seperti penduduk ilegal yang dikejar-kejar atau menjadi pegawai saja.

Motor dilarang lewat Thamrin, misalnya. Alasan utamanya untuk mengurangi macet. Padahal, yang membuat jalan dipenuhi kendaraan bukan motor saja, malah mobil yang enam kali lipat lebih besar dari motor justru berperan lebih banyak menyesaki jalan. Mengapa cuma motor yang jadi korban? Apakah karena lebih miskin dari pemilik mobil? Jika kesulitan penerapan electronic road pricing (ERP) adalah alasan pembatasan motor, justru sistem itu juga harus mampu mendeteksi motor, bukan dengan semena-mena melarangnya.

Semangat lain yang ingin diterapkan oleh Anies-Sandi adalah kemajuan tanpa korban. Kemajuan yang dirasakan bersama manfaatnya. Sang gubernur sama sekali bukan penggemar konsep collateral damage, bahwa pembangunan butuh tumbal.

Reklamasi contohnya. Siapa yang paling diuntungkan? Tentu saja, developer dan sebagian kecil orang kaya yang ingin menginvestasikan uangnya dalam bentuk properti. Lalu siapa yang dirugikan? Nelayan yang harus berlayar jauh ke tengah lautan karena wilayah tangkapannya sudah teruruk tanah. Apa keuntungan reklamasi bagi nelayan? Nyaris tidak ada, justru dirugikan.

Pola seperti ini bukan pola yang dipilih pasangan Gubernur-Wakil Gubernur Jakarta yang baru menjabat sekitar tiga bulan ini. Jika ada pembangunan, mereka ingin memastikan masyarakat Jakarta mendapatkan manfaatnya.

Bayangkan jika pola pikir ini dilakukan di seluruh Indonesia, bangsa ini tentu sudah sejahtera. Kita punya tambang emas terbesar di Papua, tapi justru masyarakat sekitar Freeport kehilangan sumber kehidupan karena sungai dipenuhi limbah tailing sisa penambangan. Di salah satu tanah terkaya ini, justru kemiskinan dan penyakit melanda. Saat ini suku Asmat, suku asli yang mendiami Papua, sedang berjuang melawan wabah campak dan gizi buruk yang menjangkiti.

Seandainya negara berpikir, pembangunan harus memberi manfaat bagi penduduk sekitar, ketimpangan di Papua atau daerah tambang lain tidak akan terjadi. Semangat lain yang diusung Anies-Sandi adalah, berani memperbaiki kesalahan pendahulunya. Apa yang dilakukan pasangan gubernur dan wagub tidak lain adalah membenahi kebijakan di masa lalu yang tidak sejalan dengan kebutuhan rakyat banyak.

Semangat seperti ini pernah dilakukan Umar bin Khattab, ketika seorang gubernur bawahannya, Amr bin Ash, membongkar paksa rumah Yahudi untuk membangun masjid. Umar justru memerintahkan membangun kembali rumah tersebut dan menegur sang gubernur. Sikap Umar justru membuat sang Yahudi masuk Islam.

Anies menganggap penggusuran Kampung Akuarium adalah bentuk rendahnya keberpihakan pemerintah pada rakyat. Kini, ia membayarnya lagi dengan membangun shelter. Juga, kebijakan lain di masa lalu banyak yang dibenahi.

Jika ini dilakukan juga secara nasional tentu dampaknya akan luar biasa. Pemerintah mencermati semua kebijakan para pendahulu "yang tidak tepat" dan mengoreksinya.

Sekarang, tantangan terberat bagi kedua pemimpin adalah membuktikan semua kebijakan tersebut memberikan hasil terbaik untuk Jakarta, seperti kebebasan becak atau motor tidak malah membuat jalan makin semrawut.

Jika semua terjadi, Anies-Sandi berhasil membuktikan bahwa kebijakan berbasis kepedulian rakyat sanggup membuat sebuah bangsa maju dan sejahtera. Semua rakyat bahagia. Prinsip yang mulai dilupakan banyak pemegang kebijakan.

Baca Juga: Gabener, Anies Lagi-Lagi Pencitraan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement