REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran Bandung, Muradi mengatakan perdebatan tentang boleh tidaknya perwira Polri menjabat sebagai penjabat gubernur harus dilihat dalam perspektif tata kelola pemerintahan. "Penekanan ini menjadi memungkinkan dilakukan manakala posisi untuk pengisian pejabat gubernur tersebut tidak sepenuhnya diisi oleh unsur petinggi di Kemendagri," kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima, Jumat (26/1).
Karena, menurut Muradi, menjadi memungkinkan diambil dari unsur di luar Kemendagri seperti Kejaksaan, Polri ataupun TNI dan lain sebagainya sebagaimana diatur di dalam UU 10/2016 pasal 101, dan Permendagri 1/2018 pasal 4 dan pasal 5. Muradi menambahkan, pada Pilkada langsung 2015 yang mana saat itu ada dua perwira dari TNI dan Polri yang menjabat sebagai penjabat Gubernur di Aceh dan Sulawesi Barat, yang saat itu berbasis pada potensi konflik di kedua daerah tersebut. Sehingga diharapkan ada koordinasi yang lebih mudah dibandingkan jika dijabat oleh yang bukan dari unsur institusi keamanan.
(Baca Juga: 'Jadi Plt Gubernur, Apa Pati Polri Sebegitu Menganggurnya?')
Bila mengacu pada perundang-undangan yang terkait TNI atau Polri, baik UU 2/2002 tentang Polri maupun UU 34/2004 tentang TNI, lanjut Muradi, penekanannya lebih pada keterlibatan dalam politik praktis. Namun jika dilihat lebih detail, keberadaan untuk mengisi jabatan sebagai pejabat kepala daerah tersebut dimungkinkan karena penekanannya pada pelayanan sebagai kepala daerah.
"Apalagi bukan tanpa masalah saat penjabat gubernur ini diisi oleh sekda menjadi permasalahan tersendiri, karena adanya interaksi yang bersifat tidak netral," kata dia.