Kamis 25 Jan 2018 16:38 WIB

Petani Kandanghaur Minta Ada Pengawalan Air Irigasi

Agar pasokan air irigasi bisa sampai ke daerah mereka yang terletak paling ujung

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Hazliansyah
Petani membajak sawahnya yang mengalami kekeringan di Persawahan Samata Gowa, Sulawesi Selatan, Selasa (12/9).
Foto: Antara/Yusran Uccang
Petani membajak sawahnya yang mengalami kekeringan di Persawahan Samata Gowa, Sulawesi Selatan, Selasa (12/9).

REPUBLIKA.CO.ID,  INDRAMAYU -- Petani di Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, yang arealnya mengalami kekeringan, meminta ada pengawalan penggelontoran air irigasi. Hal itu untuk memastikan agar pasokan air irigasi bisa sampai ke daerah mereka yang terletak paling ujung dari layanan saluran irigasi.

 

"Air sempat datang selama tiga hari kemaren, tapi tidak semua lahan kebagian. Hanya bisa mengairi lahan kurang dari 50 hektare," kata Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kecamatan Kandanghaur, Waryono kepada Republika.co.id, Kamis (25/1).

 

Padahal, lanjut Waryono, areal yang saat ini mengalami kekeringan sudah bertambah luas dan semakin parah. Dia menyebutkan, lahan yang kekeringan kini sudah sekitar 800 hektare yang tersebar di empat desa. Yakni Desa Karangmulya, Desa Karanganyar, Desa Wirakanan dan Desa Wirapanjunan.

 

Air di saluran irigasi di wilayah tersebut, baik yang bersumber dari Bendung Rentang maupun Sumur Watu Cipanas, sudah mengering sehingga tak bisa lagi disedot dengan menggunakan mesin pompa. Ditambah lagi setiap hari cuaca sangat terik sehingga memperparah kondisi kekeringan.

 

Waryono menilai, kondisi kekeringan di wilayahnya tidak akan terjadi jika air irigasi ditingkatkan volumenya. Setelah itu, dilakukan pengawalan sehingga air dipastikan benar-benar sampai ke wilayahnya.

 

Waryono mengakui, ada petugas pengairan, baik di tingkat kabupaten maupun kecamatan dan desa yang bertanggungjawab dalam masalah air. Namun, menurutnya, tugas para petugas tersebut dibatasi oleh jam kerja sehingga di malam hari kerap tidak ada yang menjaga pintu air.

 

"Kalau pintu air tidak dijaga, kalau malam suka ada yang iseng," tutur Waryono.

 

Untuk itulah Waryono meminta agar ada pengawalan terhadap jalannya air. Dia berharap ada koordinasi petugas yang terkait, baik di tingkat kabupaten, kecamatan dan desa.

 

Waryono mengakui, dalam penanaman padi ada pengaturan pola tanam dan gilir air yang disebut kalender tanam. Menurutnya, kalender tanam telah disosialisasikan dalam rapat yang melibatkan dinas terkait dan kelompok tani. Kalender tanam itupun telah disepakati oleh daerah-daerah yang pengairannya bersumber dari Bendung Rentang.

 

Dalam kalender tanam itu, pengairan dan pola tanam dibagi untuk golongan irigasi I, II dan III. Untuk wilayah Kecamatan Kandanghaur yang masuk golongan irigasi III, kalender tanamnya ditentukan pada Desember 2017.

 

Waryono menyatakan, musim tanam diwilayahnya sudah dilakukan sesuai kalender tanam, yakni pada Desember 2017 lalu.Sedangkan di sejumlah daerah yang masuk golongan irigasi I yang semestinya tanam pada November 2017, justru ada yang baru tanam pada Desember 2017.

 

Waryono tidak mempermasalahkan keterlambatan tanam yang dilakukan sejumlah daerah yang masuk golongan irigasi I. Begitu pula dengan penyedotan air yang dilakukan para petani di daerah tersebut.

 

"Mereka (golongan irigasi I) menyedot air juga kan ada batasnya. Kalau pasokan air irigasinya ditingkatkan, tetap akan cukup sampai ke sini (golongan irigasi III)," terang Waryono.

 

Salah seorang petani di Desa Karangmulya, Kecamatan Kandanghaur, Tata, menambahkan, nasib para petani di daerahnya kini semakin merana. Sebab tanaman padi terancam mati kekeringan. Selain itu, tanaman padi yang masih hidup juga ditumbuhi banyak rumput liar, yang menjadi pertanda lahan tersebut kurang air.

 

"Sejak awal bulan lalu kami teriak minta bantuan pasokan air, tapi tidak ada yang membantu," keluh Tata.

 

Tata menjelaskan, meskipun tanaman padi yang kekeringan kini masih bertahan hidup, namun pertumbuhannya kurang optimal. Selain itu, petani juga harus mengeluarkan modal tambahan yang besar untuk mencabuti rumput yang tumbuh bersamaan dengan tanaman padi yang kekeringan itu.

 

Tata menyebutkan, untuk lahan seluas satu bau (1 bau = 7.000 meter persegi), dibutuhkan tenaga 100 orang untuk mencabuti rumput liar. Dengan upah sebesar Rp 60 ribu per orang, maka pemilik lahan harus mengeluarkan modal tambahan Rp 6 juta.

photo
Petani menunjukkan tanah sawah yang retak karena dilanda kekeringan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement