REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Awal 2018 ini, penanganan kerusakan Sungai Citarum memasuki babak baru. Gerakan penanganan Sungai Citarum kini melibatkan seluruh elemen bangsa dan negara, termasuk para ulama.
Sosialisasi program Citarum Harum kepada para pemuka agama ini dilakukan di Graha Tirta Siliwangi, akhir pekan lalu. Ribuan ulama hadir dalam acara sosialisasi tersebut.
Melalui gerangan baru Citarum Harum, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menaruh harapan besar kepada para ulama. Karena, masa depan Citarum ada di tangan para ulama. "Saya mempunyai harapan besar kepada para ulama," ujar Aher sapaan Ahmad Heryawan, Senin (22/1).
Aher menilai, kalau para kiai atau ulama mengungkapkan hadis-hadis tentang lingkungan dan kebersihan air, pelestarian lingkungan di sekolah masing-masing, di majelis talim masing-masing, di madrasahnya masing-masing, maka akan didengar. "Insya Allah umatnya akan mendengar," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, peran yang sangat penting mengubah kultur masyarakat untuk menjadi kultur yang bersih dan tidak mengotori air. "Itu semua bisa dibuat kulturnya oleh para Ulama Jawa Barat. Insya Allah," katanya.
Rencananya, kata dia, gerakan ini akan dicanangkan oleh Presiden Jokowi di Situ Cisanti (Km. 0 Citarum) awal Februari 2018. Gerakan Citarum Harum akan melibatkan semua komponen bangsa dan negara, khsusnya semua pihak yang ada di Jawa Barat.
"Insya Allah, untuk Gerakan Citarum Harum semua komponen bergerak. Makanya, saya dan kita semua harus optimis gerakan ini akan berhasil. Apalagi ini sudah menjadi agenda kepresidenan," kata Aher.
Aliran Sungai Citarum
Aher mengatakan, penanganan Citarum bisa berhasil apabila dilakukan melalui tiga hal. Yakni, secara filosofis, normatif, dan sosial-budaya. Pertama, filosofis, dimana semua pihak atau multisektor bersinergi bersama masyarakat secara terintegrasi dalam wadah koordinasi.
Kemudian, kedua yaitu secara normatif. Hal ini dilakukan melalui metode Struktur dan Nonstruktur. Metode struktur ini dilakukan dalam lingkup konstruktif atau fisik. Di antaranya, melaluiiIpal terpadu untuk limbah domestik dan industri, pembuatan waduk atau embung di hulu, kolam penampungan banjir (retention basin) di hilir, tanggul penahan banjir penghalang sepanjang tepi sungai, normalisasi sungai, serta pembangunan sistem polder dan sumur-sumur resapan.
Sementara metode nonstruktur, kata Aher, dilakukan melalui Partisipasi Masyarakat dan Penataan Hukum. Seperti, Samsat Citarum dengan Polda Jabar, Patroli Air Berbasis Masyarakat, Kerjasama Penanganan Sampah dengan TNI (Pangdam III/Siliwangi), serta peningkatan kapasitas dan partisipasi masyarakat untuk Bank Sampah.
Ketiga, langkah Sosial dan Budaya. Caranya, melalui alih mata pencaharian, khususnya bagi para petani yang awalnya menanam tanaman semusim jadi menanam tanaman konservasi seperti kopi, Perubahan perilaku permukiman sehat, dan menghidupkan kembali kearifan lokal yang positif seperti pembentukan masyarakat desa berbudaya lingkungan atau eco village.
"Ini (sosial-budaya) persoalan kita. Kalau kemudian masyarakat kita sepakat untuk tidak buang apapun (ke sungai), maka sungai kita akan berubah menjadi sungai yang bersih," kata Aher.
Pendekatan Hablum Minal Alam untuk Revitalisasi Citarum pun, didengungkan oleh Pangdam III/Siliwangi Mayjen TNI Doni Monardo pada acara sosialisasi ini. Pendekatan ini, kata Doni, harus dilakukan karena kondisi Citarum sangat memperihatinkan. "Persoalannya ada di hulu hingga hilir Sungai Citarum," katanya.
Doni mengatakan di kawasan hutan atau hulu Citarum pohon-pohon hampir habis ditebang. Kawasan kritis dan sangat kritis telah mencapai 80 ribu hektare. Tahun 2009 Puslitbang Sumber Daya Air Kementerian PUPR mencatat, mata air di hulu Citarum ada 300 buah, namun pada 2015 tinggal 144 buah.
"Kalau mata air tidak kita urus, maka dikemudian hari yang ada tinggal air mata," kata Doni.
Hulu DAS Citarum, kata dia, mengalami rusak parah. Menurut Data Puslitbang Sumber Daya Air Kementerian PUPR, normalnya rata-rata debit air mencapai 41 meter kubik per detik. Namun saat ini, pada musim hujan mencapai 578 meter kubik per detik. "Inilah yang menyebabkan banjir di Majalaya, Banjaran, dan Dayeuh Kolot," ujarnya.
Sementara pada musim kemarau debit air mencapai 2,7 meter kubik per detik, sehingga menyebabkan kekeringan, gagal panen, dan PLTA Saguling kekurangan pasokan air. Selain itu, potensi panas bumi juga terganggu, seperti tenaga panas bumi di Kamojang 200 MW, Wayang Windu 227 MW, dan Patuha 60 MW.
Di hilir Citarum, kata dia, sampah organik dan anorganik mencapai 20.462 ton per hari dan 71 persen diantaranya tidak terangkut. Limbah medis juga memenuhi Citarum, seperti kantong darah HIV-Aids, potongan tubuh manusia, dan alat medis bekas pakai (Data BBWS, 8 Januari 2018). Di sekitar Citarum ada 1.900 industri penghasil limbah, 90 persen Ipal belum selesai, dan 340.000 ton per hari limbah cair (Data DLH Jabar, 14 Januari 2018).