Sabtu 20 Jan 2018 13:30 WIB

Ketua MPR RI Singgung GBHN di Ponpes Al-Zaytun

Zulkifli menyebut sistem demokrasi membuat adanya transaksi politik

Rep: Farah Noersativa/ Red: Bilal Ramadhan
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Zulkifli Hasan melakukan kunjungan sekaligus kuliah umum ke Kampus Institut Agama Islam Al-Zaytun Indonesia (IAI Al-Azis) Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Jumat (19/1).
Foto: Republika/Farah Noersativa
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Zulkifli Hasan melakukan kunjungan sekaligus kuliah umum ke Kampus Institut Agama Islam Al-Zaytun Indonesia (IAI Al-Azis) Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Jumat (19/1).

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, Zukifli Hasan memberikan kuliah umum dalam kunjungannya ke Pondok Pesantren Institut Agama Islam Al-Zaytun Indonesia (IAI Al-Azis) Kabupaten Indramayu. Dalam kuliah umum itu, Zulkifli memberikan penjelasan peranan MPR menghasilkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

"Kalau dulu, MPR itu gabungan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan juga utusan daerah dan golongan dijadikan Lembaga tertinggi, maka menetapkan GBHN, kemana Indonesia selama 5 hingga 10 tahun ke depan," ujarnya dalam kuliah umum yang dihadiri sebanyak 12 ribu santri dan mahasiswa itu, Jumat (20/1).

Ia menjelaskan, karena adanya amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali maka sistem GBHN tak lagi dipakai. Sebab saat ini Indonesia menggunakan sistem Demokrasi Pancasila.

Di era Demokrasi Pancasila, kata dia memberikan kesempatan dan peluang kepada masyarakat untuk bisa menjadi apapun. "Saya lulusan Madrasah Ibtidaiyah lalu lanjut ke Pendidikan Agama Islam, saat ini bisa jadi Ketua MPR RI di era keterbukaan ini," katanya dalam kuliah umum yang bertajuk Peranann MPR RI dalam Kaitan Garis-garis Besar Haluan Negara pada Era UUD 1945.

Namun, di sisi lain, sistem ini menimbulkan political transactional. Sebab dalam sistem ini, para kandidat Bupati/Walikota dan Presiden memiliki visi misi. Hal ini dikhawatirkan adanya visi misi yang dikendalikan satu-dua orang.

"Makanya sekarang sering terjadi kondisi 'selingkuh', kepala daerah ketika jadi, ditanya oleh rakyat soal perbaikan jalan dan lain-lain, mereka bilang 'rakyat kan sudah pada saat dulu kampanye' ini yang tak boleh," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement