Sabtu 20 Jan 2018 05:27 WIB

Ekonomi Indonesia: Sehat Tapi tak Bisa Lari Cepat

Presiden Jokowi mengungkapkan kinerja sektor keuangan termasuk bermasalah.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso memberikan sambutan saat pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2018, di Jakarta, Kamis (18/1). OJK akan mendukung dan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi melalui sektor jasa keuangan menuju target pertumbuhan ekonomi 2018.
Foto: Wihdan Hidayat/Republika
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso memberikan sambutan saat pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2018, di Jakarta, Kamis (18/1). OJK akan mendukung dan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi melalui sektor jasa keuangan menuju target pertumbuhan ekonomi 2018.

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Debbie Sutrisno, Iit Septyaningsih

Kinerja perekonomian selama tiga tahun terakhir tak juga membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) puas. Ketidakpuasan ini disampaikan Presiden Jokowi saat memberikan sambutan dalam pertemuan tahunan industri jasa keuangan tahun 2018 di Jakarta, Kamis (18/1) malam.

Di hadapan tamu undangan, Presiden mengklaim dan menekankan ekonomi Indonesia sudah baik. Penilaian ini didasarkan pada sejumlah aspek. Mulai dari stabilitas moneter, stabilitas fiskal, kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), neraca perdagangan, cadangan devisa, hingga peringkat kemudahan bisnis.

Namun, anehnya, dampak itu belum terasa pada perbaikan mutu hidup masyarakat secara menyeluruh. Presiden mengumpamakan dengan manusia yang sehat, tapi tidak bisa berlari.

"Kolesterol baik, asam urat enggak ada, jantung baik, ginjalnya baik, dikit-dikit pernah masuk angin, dikit, tapi kenapa kita enggak bisa lari cepat. Ternyata setelah kita kejar secara detail masih ada masalah-masalah di lapangan," ujar Kepala Negara.

photo
IHSG Membaik: Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan kinerja membaik pada 2017. Tampak pergerakan harga saham pada layar di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, beberapa hari lalu..

Salah satu sektor yang disorot Presiden adalah industri jasa keuangan. Berdasarkan informasi yang diperoleh, kapasitas kredit saat ini mencapai Rp 640 triliun. Nilai likuiditas pun menembus Rp 626 triliun. Dari sisi nominal tidak ada yang buruk.

Namun, pertumbuhan kredit yang ditargetkan berada pada kisaran 10 persen sampai 12 persen justru hanya tumbuh 8,3 persen pada tahun lalu. Meskipun lebih baik dibandingkan 2016 yang tercatat sebesar 7,87 persen, pertumbuhan tersebut tetap mengecewakan.

Kritik Presiden juga menyasar sikap perbankan yang selama ini hanya fokus memberikan pendanaan kepada orang yang sama. Hasilnya, penyebaran kredit tidak merata. "Padahal, sudah seharusnya keberadaan industri perbankan adalah menghubungkan rakyat dengan perbankan. Itu adalah tugas," kata Presiden.

Presiden membenarkan, penyaluran kredit memang mesti penuh kehati-hatian. Hal ini bertujuan mencegah kredit macet. Namun, Presiden meminta agar penyaluran kredit, terutama kepada pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), harus ditingkatkan. "Memang perlu lebih banyak tenaga dan pikiran. Tapi itu yang mesti dilakukan," ujar Jokowi.

Dalam mempermudah perkreditan, Ia menyebut pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bisa saja menyiapkan kantor kas mikro walau hanya berukuran lima kali lima meter. Kantor ini bisa dimulai di pesantren yang memiliki bank wakaf mikro yang akan memberikan penjaminan di pesantren. "Tidak ada bunga dan hanya terkena biaya administrasi tiga persen," ujar dia.

Lebih lanjut, Presiden meminta semua pihak optimistis menatap tahun ini. Jangan sampai tidak ada optimisme melihat kondisi masyarakat. Optimisme yang telah dibangun tidak boleh hilang karena isu-isu yang betebaran di media sosial.

Optimisme Presiden juga diperkuat proyeksi lembaga-lembaga dunia perihal pertumbuhan ekonomi Indonesia 2018. Bank Dunia sebagai contoh. Lembaga ini memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 5,3 persen pada tahun ini atau sedikit lebih rendah dari target pemerintah, yaitu 5,4 persen.

"Artinya, lembaga-lembaga dunia tersebut yakin dengan masa depan Indonesia. Sekarang tinggal kita mau gimana, apakah mau jalan santai atau pengen cepat. Utamanya dalam menekan pengangguran, menekan angka kemiskinan, dan menekan ketimpangan yang ada," kata Jokowi, sapaan akrab Presiden.

Momentum perbaikan ekonomi

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menilai, tahun ini merupakan momentum tepat untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi Tanah Air. Sebab, kondisi perekonomian dan sektor jasa keuangan saat ini sedang kondusif.

Indikatornya ditandai dengan pertumbuhan ekonomi 2017 yang berada di kisaran lima sampai 5,1 persen. Kemudian, nilai tukar stabil di kisaran Rp 13.500 per dolar AS serta inflasi rendah, yakni 3,61 persen year on year (yoy).

Reformasi struktural yang dilakukan pemerintah, menurut Wimboh, juga berhasil meningkatkan kepercayaan investor sepanjang tahun lalu. "Kepercayaan itu ditunjukkan oleh arus dana masuk cukup besar ke pasar modal domestik, sehingga tingkat imbal hasil surat berharga negara mengalami penurunan," ujar Wimboh dalam pidatonya di depan Presiden.

photo
Pertumbuhan Lebih Baik: Indonesia masih mencatat pertumbuhan ekonomi yang leboh bagus meski banyak negara lain yang tumbuh jauh lebih baik.

Pergerakan IHSG, menurut dia, juga dalam tren meningkat, yakni tumbuh 20 persen pada 2017. Bahkan pada akhir tahun lalu, IHSG ditutup di level 6.355,65. Nilai ini menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah sekaligus lebih tinggi dari pertumbuhan indeks saham di Singapura, Thailand, serta Malaysia.

Oleh karena itu, Wimboh meyakini target pertumbuhan ekonomi 2018 sebesar 5,4 persen bisa tercapai. "Kami yakin sektor jasa keuangan mampu mendukung pencapaian target tersebut. Hal ini didukung solidnya indikator sektor jasa keuangan, baik dari sisi permodalan, likuiditas, maupun risiko yang terkendali," kata mantan komisaris utama PT Bank Mandiri ini.

Wimboh menyebutkan, permodalan lembaga jasa keuangan Indonesia juga relatif kuat. Hal ini ditunjukkan dengan CAR perbankan sebesar 23,36 persen. Dengan asumsi CAR disesuaikan ke level setara rata-rata CAR perbankan di kawasan ASEAN, yaitu 18 persen, industri perbankan memiliki potensi untuk mendorong penyaluran kredit sampai Rp 640 triliun.

Lebih lanjut, menurut Wimboh, pertumbuhan ekonomi domestik ini sejalan dengan pemulihan kondisi ekonomi global, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Dengan demikian, terbuka peluang untuk perbaikan kinerja neraca pembayaran Indonesia pada masa depan.

Ekonomi lari tapi berat

Ekonom Senior The Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dradjad Wibowo berpendapat ekonomi tidak bisa lari kencang karena seperti orang yang diikat. Pengikatnya, rantai besi yang ditambah beban belasan kilo.

Dradjad menyebut orang yang mengikat kaki justru beberapa menteri dan birokrat pembantu Presiden. Menurutnya, tidak sedikit langkah pemerintah yang justru kontraproduktif, bahkan anti-bisnis. Akibatnya, indikator makro kelihatan lumayan, tapi pertumbuhan dan pemerataan terhambat.

"Saya katakan makro lumayan, bukan sehat sekali. Karena, saya bandingkan dengan pesatnya perekonomian global tahun 2017," kata Dradjad.

Cina, misalkan, meskipun rasio utangnya 234 persen dari PDB, namun pertumbuhan ekonominya melebihi ekspektasi, mencapai 6,9 persen pada 2017. Singapura tumbuh 3,5 persen atau hampir dua kali lipat dari perkiraan awal tahun. Bahkan pada kuartal ketiga 2017 ekonomi Singapura tumbuh 5,2 persen.

Lalu apa contoh langkah yang kontraproduktif, bahkan anti-bisnis? Dradjad mengatakan keluhan yang paling sering ia dengar adalah masalah pajak.

Dikatakannya, banyak pebisnis yang menyesal ikut pengampunan pajak karena sekarang mereka justru dikejar-kejar. Apalagi ditambah ucapan menakutkan dari menteri dan dirjen.

"Jadi, mereka menahan realisasi modal investasi dan modal kerja. Bahkan para investor pembeli properti pun menahan diri. Akibatnya, mulai dari pengembang hingga tukang ikut terkena," ungkapnya.

Keluhan lain, lanjut Dradjad, tidak sedikit menteri yang senang mengambil langkah populis, tapi justru menimbulkan ketidakpastian investasi.

"Saya tidak enak merincinya. Tapi ini terjadi pada industri pendukung infrastruktur seperti semen, hingga sektor berbasis sumber alam seperti mineral, hutan, laut dan pangan, maupun jasa," papar anggota Dewan Kehormatan PAN ini.

Perbankan tidak bisa disalahkan begitu saja. Kalau mereka melihat debitor jalan di tempat, terpaksa kredit ditahan. Jika tidak, kredit macet bisa meledak.

Ketiga, kata Dradjad, banyak eksportir yang diserang di luar negeri, tapi pemerintah tidak aktif dan efektif membantu. Keempat, memang kemudahan berusaha di Indonesia membaik. Faktanya di lapangan, masih sama saja. Sengketa perdata tetap rumit. Izin tanah tetap susah dan banyak SK perizinan yang tumpang tindih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement