Jumat 19 Jan 2018 21:00 WIB

'Masyarakat Harus Cerdas Mencerna Isi Berita'

Diperlukan kecerdasan dari masyarakat untuk dapat mencerna kebenaran isi berita.

Diskusi Publik. Peneliti Senior LIPI R. Siti Zuhro dalam Diskusi Publik  yang bertempat di Media Center KPU, Jakarta, Selasa (07/11).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Diskusi Publik. Peneliti Senior LIPI R. Siti Zuhro dalam Diskusi Publik yang bertempat di Media Center KPU, Jakarta, Selasa (07/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat diminta untuk lebih selektif, pintar dan cerdas dalam memilih-milih berita baik di media sosial maupun di media daring lainnya agar tidak mudah terprovokasi yang dapat menimbulkan perpecahan di masyarakat. Hal ini seiring maraknya berita hoaks di dunia maya, apalagi menjelang digelarnya Pilkada 2018 dimana berkaca pada Pilkada atau Pilpres di tahun sebelumnya bermunculan berita-berita hoaks dan aksi saling membullying di media sosial yang dapat berdampak pada perpecahan di masyarakat.   

Peneliti senior dari Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Siti Zuhro mengatakan bahwa, masyarakat harus melakukan cek dan ricek terhadap berita-berita yang beredar dengan membandingkan media satu dengan media lainnya dengan topik yang sama tapi dari sudut pandang yang berbeda.  

“Artinya memang diperlukan kecerdasan dari masyarakat untuk dapat mencerna kebenaran isi berita tersebut seperti masuk akal atau tidak, ada bukti kongkrit atau tidak. Memang bahaya sekali kalau berita hoaks itu diperbanyak untuk memotivasi yang negatif.  Persatuan di masyarakat kita bisa terpecah belah, apalagi menjelang Pilkada seperti tahun-tahun sebelumnya,” ujar Siti kepada wartawan, Jumat (19/1).

Diakuinya bahwa media sosial selama ini cenderung kurang mencerahkan, walau dalam pengamatannya pada tahun 2013 itu hoaks itu tidak muncul secara masif seperti sekarang ini. Dirinya mengamati selama ini orang dalam berdiskusi, dalam mengemukakan pendapat, opini, komentar ataupun argumen-argumen itu tidak hanya sangat ringan, tetapi lebih mengarah kepada menghujat dengan bahasa-bahasa yang sangat tidak senonoh, kasar dan jauh dari nilai keberadaban bangsa Indonesia.

“Itu sudah mulai sejak 2013-2014, saya concern sekali mengamati masalah ini. Kenapa kok jauh dari nilai-nilai keberadaban bangsa kita, karena kita inikan memiliki nilai-nilai dan budaya-budaya mulia. Kita ini orang Indonesia asli dalam artian sangat menjunjung tinggi, saling menghargai dan menghormati orang lain,” ujar gelar PhD Ilmu Politik dari Curtin University  Australia ini.

Wanita kelahiran Blitar, 7 November 1958, ini telah membaca media sosial yang ada di Jepang ataupun yang ada di Korea Utara yang lalu dibandingkan dengan media sosial yang ada di Indonesia dimana dirinya menilai media sosial di Indonesia tidak menunjukkan harkat dan martabat bangsa. Dimana masyarakat Indonesia ini jauh dari keberadaban yang ada dalam sila kedua Pancasila, yakni Kemanusian Yang Adil dan Beradab.

“Dimensi sila kedua itu sudah tidak lekat dengan kita, jadi nilai-nilai yang ada di sila kedua ini sudah sama sekali tidak melekat lagi di masyarakat kita ini. Karena ini terwujud dari tutur kata dan perilaku kita. Tutur kata ini kan ungkapan dari kepribadian kita mengenai apa yang ada di sanubari kita,” ujar peraih gelar MA jurusan Ilmu Politik dari The Flinders University Australia ini.

 

 

sumber : Antara

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement