Jumat 19 Jan 2018 06:57 WIB

Aisyiyah dan Gerakan Ekonomi Perempuan

Aisyiyah menggelar tanwir di Surabaya dengan tema pemberdayaan perempuan.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah Siti Noordjannah Djohantin (kedua kiri) bersa Rektor UM Surabaya Sukadiono (ketiga kiri) memberikan keterangan pers terkait Tanwir I Aisyiyah. Acara tersebuut digelar di Kampus Universitas Muhammadiyah Surabaya, Jalan Raya Sutorejo Nomor 59, Mulyorejo, Surabaya, Kamis (18/1).
Foto: Republika/Dadang Kurnia
Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah Siti Noordjannah Djohantin (kedua kiri) bersa Rektor UM Surabaya Sukadiono (ketiga kiri) memberikan keterangan pers terkait Tanwir I Aisyiyah. Acara tersebuut digelar di Kampus Universitas Muhammadiyah Surabaya, Jalan Raya Sutorejo Nomor 59, Mulyorejo, Surabaya, Kamis (18/1).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mukhaer Pakkanna, Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta, dan Wakil Ketua MEK PP Muhammadiyah

Tanwir ‘Aisyiyah di Surabaya yang digelar pada 19-21 Januari 2018 kali ini mengangkat tema menarik, yakni “Gerakan Pemberdayaan Ekonomi Perempuan, Pilar Kemakmuran Bangsa“. Tema ini sejatinya memberikan aksentuasi bahwa dalam mewujudkan kemakmuran suatu bangsa titik awalnya harus dimulai dengan penguatan gerakan ekonomi perempuan, terutama ekonomi keluarga. Kuatnya gerakan ekonomi perempuan akan memantik “efek berganda“ pertumbuhan pelbagai sektor ekonomi lainnya di masyarakat.

Kontras dengan harapan itu, Laporan Pembangunan Manusia yang dipublikasikan UNDP (2017) mengungkap hal lain tentang fakta sosial kaum perempuan. Dilaporkan, kesenjangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia 2016 antara laki-laki dan perempuan. Indeks untuk kaum perempuan sebesar 0,66, tertinggal dibandingkan laki-laki sebesar 0,712.

Perempuan tertinggal dalam rata-rata lama sekolah, jumlah yang tamat pendidikan menengah, pendapatan nasional per kapita, dan partisipasi kerja. Kesenjangan pendapatan dan partisipasi kerja antara laki-laki dan perempuan adalah yang paling mencolok.

Mengurai kesenjangan

Kesenjangan acap kali merupakan produk diskriminasi, yakni perlakuan ketidakadilan selalu dirawat dalam setiap kebijakan publik dan domestik. Terlepas faktor mentalitas kebudayaan masyarakat yang pernah disinggung Koentjaraningrat (1974) dan Soemardjan (1982), sejatinya kesenjangan sosial, termasuk kesenjangan pendapatan laki-laki dan perempuan, lebih dilatari adanya hambatan struktural.

Yakni, kurangnya ruang yang diberikan dalam memanfaatkan peluang tersedia. Bagi Bremean (1985), kaum miskin “jalan ke atas acap kali dirintangi”, sedangkan “jalan menuju ke bawah terlalu mudah dilalui”.

Dengan demikian, kesenjangan pendapatan dan partisipasi kerja antara laki-laki dan perempuan bisa direduksi dengan tindakan kesengajaan. Selama ini, banyak studi yang membedah persoalan kemiskinan, dan ternyata posisi terburuk berada di tangan kaum perempuan.

Muhammad Yunus (pemenang Nobel Perdamaian 2009) menyampaikan, kelaparan dan kemiskinan lebih merupakan masalah perempuan ketimbang laki-laki. Jika ada anggota keluarga yang harus mengalami kelaparan, hukum tidak tertulis mengatakan, ibulah yang pertama mengalaminya. Ibu rumah tangga juga akan menderita pengalaman traumatis karena tidak mampu menyusui bayinya selama masa kelaparan dan paceklik.

Bagaimana dengan laki-laki? Studi Kabeer (2008) di Bangladesh dan Pakistan menunjukkan, dalam konteks pemberian pinjaman (kredit) kepada laki-laki, cenderung meneruskan bahkan memperparah ketidakadilan gender dalam rumah tangga (domestik).

Artinya, kebijakan itu menguatkan posisi laki-laki dengan memberi mereka sumber daya karena mereka mampu mencegah keikutsertaan para istri mereka untuk terlibat aktivitas perolehan pendapatan.

Faktanya, struktur sosial masyarakat di banyak negara berkembang (termasuk beberapa daerah di Indonesia) cenderung tidak menguntungkan, bahkan merendahkan kaum perempuan, meski bagi para perempuan di kalangan kaum berada.

Dibanding dengan laki-laki, kaum perempuan acap kali kurang menyadari dan menggali potensi kewirausahaan yang mereka miliki. Hal ini disebabkan, ketidakadilan gender telah menjadi penghambat mengakses sumber daya yang diperlukan (Kabeer, 2008; Mahmud, 2003).

Urgensi kredit mikro

Banyak studi membuktikan, kebijakan affirmative action dengan model kredit mikro bagi kaum perempuan, berperan mengarahkan sumber daya keuangan. Dengan pengelolaan kredit mikro oleh Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang berkinerja sehat dan menjangkau seluruh strata masyarakat, program kredit mikro dapat menjadi dasar bagi para perempuan menghadapi pelbagai ketidakadilan gender. Tentu, selain sehat dan menjangkau, LKM harus mampu melakukan proses pemberdayaan.

Pemberdayaan perempuan, merujuk Friedman (1992), meliputi tiga hal pokok, yakni proses enabling (kemampuan menciptakan iklim yang memungkinkan potensi perempuan berkembang), empowering (kemampuan menguatkan potensi atau daya yang dimiliki perempuan), dan advocation (kemampuan melakukan perlindungan dan pemihakan kepada perempuan di perdesaan).

Dalam studi yang dilakukan penulis, yang mengambil kasus di Kabupaten Tangerang (2015-2016) yang mengaitkan antara keuangan mikro dan kaum perempuan perdesaan, mengonfirmasi bahwa keuangan mikro yang dimotori LKM memiliki fleksibilitas dalam menjangkau nasabah miskin perdesaan, dibandingkan lembaga keuangan lainnya. Salah satunya adalah memanfaatkan modal sosial berbasis pendekatan kelompok masyarakat (tanggung renteng) sebagai pengganti kolateral.

Studi itu mengategorisasikan nasabah (anggota) perempuan dengan laki-laki. Terdapat bukti, kaum perempuan lebih memanfaatkan pinjaman dengan baik, yang didukung tingkat pengembalian pinjaman yang lebih tinggi dan disiplin dibandingkan nasabah laki-laki. Bahkan, fakta juga menunjukkan bahwa tingkat NPL (non performing loan) anggota perempuan mendekati angka nol persen. Hanya kelemahannya, nasabah perempuan kurang memiliki tingkat pendidikan dan pelatihan yang memadai.

Demikian pula, pada studi yang lain, misalnya merujuk riset Rajivan (2003), tingkat pengembalian suatu program kredit mikro untuk perempuan di Indonesia mencapai sebesar 98 persen, sementara program lain yang bertarget grup laki-laki persentasenya hanya 82 persen. Institusi keuangan mikro yang melayani jenis usaha kecil dan jenis usaha yang tidak menentu (pedagang kaki lima), ternyata dapat menekan 'biaya tinggi' dalam pelayanan.

Dalam konteks itulah, peranan keuangan mikro selain membuka aksesibilitas permodalan dalam skala yang kecil, terutama bagi perempuan miskin, juga mampu menguatkan dan memandirikan kaum perempuan. Dalam kaitan itu, gerakan ekonomi ‘Aisyiyah tidak semata bersifat inward looking, yang melihat hanya anggotanya.

Tapi juga harus melihat fakta sosial kemiskinan di sekitarnya. Salah satu tugas utama Aisyiyah, melakukan pemberdayaan ekonomi kaum perempuan secara menyeluruh sehingga perempuan, terutama yang berada pada level yang rentan dan miskin kembali harus mandiri dengan memanfaatkan modal sosial yang perempuan miliki.

Modal sosial yang dimiliki perempuan, seperti studi Dasgupta, Partha, dan Ismail Saralgedin (2000), mengejawantah dalam bentuk kohesivitas sosial, semangat gotong royong, tolong menolong, rasa dan semangat saling memberi, rasa saling percaya, dan jejaring sosial.

Namun, perlu diingat, kemandirian ekonomi perempuan yang dimaksud, bukan berarti kaum perempuan (ibu rumah tangga) memutuskan segala sesuatu tanpa musyawarah dengan suami atau anggota rumah tangga lain. Kemandirian memiliki makna bahwa kaum ibu tidak menggantungkan ekonomi rumah tangga hanya kepada suami. Perempuan ikut bekerja semata-mata membantu meringankan beban suami dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement