Kamis 18 Jan 2018 07:17 WIB

Negara Agraris, Fakta atau Utopia?

Kementerian Pertanian melalui Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian kembali melakukan panen padi di Kabupaten Sleman.  Kali ini, panen padi dilakukan di Dusun Majasem, Desa Madureja, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, DIY. Kamis (11/1).
Foto: Republika/Wahyu Suryana
Kementerian Pertanian melalui Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian kembali melakukan panen padi di Kabupaten Sleman. Kali ini, panen padi dilakukan di Dusun Majasem, Desa Madureja, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, DIY. Kamis (11/1).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Salman Al Parisi, Pascasarjana SB IPB dan Awardee LPDP PK 103

Masyarakat menyambut awal tahun 2018 dengan persoalan yang cukup vital. Yakni, terkait kenaikan harga beras yang persisten hingga mencapai Rp 11.041 per kilogram dari harga Rp 10.794 per kilogram pada November 2017.

Sebagaimana diketahui, beras merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat Indonesia. Walaupun beras merupakan barang inelastis bagi mayoritas masyarakat, tidak menutup kemungkinan hal ini dapat memicu penurunan daya beli masyarakat secara umum.

Selain itu, harga beras domestik yang tinggi dapat menyebabkan ketidakmampuan produk untuk bersaing di pasar global dengan produk-produk pangan negara lainnya, seperti Thailand, Vietnam, Cina, India, Australia, dan sebagainya.

Sejak zaman dahulu, Indonesia selalu diidentikkan dengan istilah negara agraris. Ironisnya, Indonesia mengimpor pangan dalam jumlah yang sangat besar untuk menutupi kekurangan kebutuhan domestik.

Sebagai contoh, baru saja pemerintah berencana mengimpor beras sebanyak 500 ribu ton pada awal tahun 2018. Tidak menutup kemungkinan jumlah impor beras dapat meningkat jika produksi nasional tidak dapat mencukupi kebutuhan domestik.

Perlakuan impor yang persisten terhadap kebutuhan pangan dengan jumlah besar, sangat rentan untuk ketahanan pangan suatu negara. Di sisi lain, Indonesia merupakan pangsa pasar yang besar untuk negara lainnya.

Hal ini dapat memperburuk kondisi ketahanan pangan jika produk pangan domestik tidak mampu bersaing dengan produk global. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996, disebutkan dua istilah penting tentang pangan, yaitu sistem pangan dan ketahanan pangan.

Sistem pangan diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan pengaturan, pembinaan, dan atau pengawasan terhadap kegiatan atau produksi pangan dan peredaran pangan sampai dengan siap dikonsumsi oleh manusia.

Sedangkan, ketahanan pangan diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tecermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Amanat yang tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 1996 tersebut disebutkan, ketahanan pangan tercapai jika tersedia jumlah dan mutu pangan yang cukup, aman, merata, dan terjangkau.

Sehingga dengan kata lain, Indonesia belum mampu mencapai titik ketahanan pangan hingga awal tahun 2018. Dengan hal ini, Indonesia memerlukan penataan sistem pembangunan yang tepat terkait tujuan ketahanan pangan. Dependensi masyarakat pada beras (padi) saat ini sangat tidak menguntungkan bagi kelangsungan ketahanan pangan nasional.

Usaha peningkatan produksi padi tetap terus digalakkan beserta peningkatan diversifikasi pangan terkait sumber karbohidrat lain merupakan tindakan yang sangat strategis. Sumber karbohidrat yang dapat menjadi comparative advantage Indonesia, di antaranya padi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar.

Pembangunan berbasis pertanian yang berkelanjutan perlu ditingkatkan. Pemerintah bukan hanya fokus pada pembangunan infrastruktur melainkan juga peningkatan agro industrinya sebagai manifestasi pembangunan pertanian berkelanjutan.

Kegiatan agro industri berperan penting dalam meningkatkan ketahanan pangan suatu negara. Kebutuhan manusia terhadap pangan yang persisten untuk menunjang kelangsungan hidup, bahkan diprediksi penduduk dunia mencapai delapan miliar jiwa pada 2030.

Maka itu, produksi pangan menjadi prospek pada masa depan. Indonesia perlu meningkatkan jumlah ekspor produksinya (bahan baku diolah menjadi produk--red) dan meminimalisasi jumlah ekspor bahan baku pangan.

Dengan demikian, dapat menciptakan added value yang dapat meningkatkan cadangan devisa negara. Salah satu faktor independen dalam meningkatkan jumlah produksi pangan domestik, yaitu ketersediaan lahan.

Sementara itu, Indonesia hanya memiliki lahan per kapita seluas 568,7 meter persegi (m2), Indonesia masih tertinggal jauh dari negara-negara lainnya, seperti Vietnam (960 m2 per kapita), Cina (1.120 m2 per kapita), India (1.591 m2 per kapita), Thailand (5.226 m2 per kapita), dan Australia (26.264 m2 per kapita).

FAO menyatakan dan menetapkan, suatu negara dapat dikatakan negara agraris dilihat dari luasnya ketersediaan lahan per kapita. Pada umumnya, negara-negara agraris di dunia memiliki ketersediaan lahan per kapita di atas 1.000 m2.

Hal ini menjadi ironi tersendiri atas pernyataan bahwa saat ini Indonesia adalah negara agraris. Berdasarkan laporan World Bank, mayoritas orang miskin tinggal di pedesaan.

Ini senada dengan data BPS bahwa angka kemiskinan di pedesaan sebesar 13,93 persen. Angka tersebut Lebih besar dibandingkan angka kemiskinan di perkotaan sebesar 7,72 persen (per Maret 2017).

Desa merupakan pengembangan konsep asli bangsa Indonesia, sehingga pembangunan berbasis perdesaan dan pertanian berkelanjutan sangat diperlukan untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan kesenjangan pendapatan.

Maka dari itu, diperlukan paradigma yang mengarah pada pembangunan berkeadilan, berdaulat, dan berkelanjutan.

Melalui pendekatan partisipatif, pembangunan berkelanjutan di setiap desa disesuaikan dengan pemanfaatan potensi sumber daya lokal, kebutuhan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat tersebut.

Sebagai kesimpulan, menurut penulis pemerintah sebaiknya tidak hanya fokus pada pembangunan fisik infrastruktur.

Pemerintah juga perlu menyediakan ketersediaan lahan pertanian yang luas untuk meningkatkan kapasitas produksi pangan serta memperhatikan kualitas dan kuantitas agro industrinya, sehingga dapat meningkatkan added value yang menambah devisa negara.

Pembangunan yang tepat dengan kondisi alam di Indonesia, dapat menciptakan pertumbuhan. Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas diharapkan, dapat menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan secara optimal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement