Rabu 17 Jan 2018 04:00 WIB

Bijak Berilmu..

Perdebatan di antara umat Islam adalah pada masalah-masalah yang sebenarnya tidak prinsipil.

Imam Hanbali (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Imam Hanbali (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Ady Amar *)

Seorang kawan mengundang di rumahnya yang luas nan asri. Ada ustaz ternama di rumahnya, yang pantas jika saja saya bertemu dengannya. Suatu kehormatan bagi saya bertemu dengan ustaz itu, dan ternyata ada beberapa kawan lainnya yang juga diundangnya. Alhamdulillah banyak hal kita bincangkan. Bertanya dari kami, dan menjawab dari sang ustaz.

Suasana jadi gayeng, sedikit pun tidak tampak bahwa sang ustaz yang terkesan “keras” itu menampakkan “kekerasannya”. Banyak ilmu yang kami dapat di perbincangan siang itu, tidak satu pun pertanyaan dari kami yang tidak dijawabnya. Kesan saya pribadi, ustaz yang satu ini luas ilmunya. Bagaimana tidak. Tanya kami, dari mulai hal sederhana sampai hal-hal yang “berat” dijawabnya dengan memuaskan.

Ada derai tawa juga di tengah obrolan siang itu, dari kami yang memancing tawa atau sang ustaz yang juga ikut-ikut menebar tawa. Saya ikut bertanya, tapi lebih tepat mencoba “mengoreksi” gaya yang dipilih sang ustaz dalam berdakwah. Kenapa dalam dakwah mesti yang ditebar selalu menyelipkan hal-hal yang tidak produktif. Semisal, jika mainstream yang sudah berkembang di masyarakat, dan semacam sudah mendapat “legitimasi”, mengapa mesti “dikoreksi” dengan pendekatan yang kontroversial.

Atau, mengapa dari semua pertanyaan yang terkadang cuma “iseng” dan akan menimbulkan reaksi dari masyarakat luas, mesti dijawab. Sang Ustaz itu, memberikan jawaban yang, menurut saya, baik meski kurang bijak. Begini jawabnya. “Itu bukan jawaban dari pendapat saya, tapi dari ilmu yang saya dapatkan. Itu bukan dari saya, tapi itu termuat dalam kumpulan hadis shahih.”

Lalu saya terus dan kembangkan, “Apakah jika itu tidak dijawab dengan alasan yang sebenarnya bisa dibuat, akan mengurangi ilmu kita?” Menurut saya yang miskin ilmu, bahwa tidak semua layak dijawab, jika nantinya jawaban itu akan menimbulkan persoalan baru, persoalan lebih besar yang akan meruntuhkan bangunan ukhuwah di kalangan umat. Gaya dakwah adalah pilihan, namun bijak dalam menyampaikan ilmu mestinya jadi tuntutan semua dai. Saat saya sampaikan pertanyaan yang lebih sebagai “usulan” itu, sang ustaz mendengar dengan tanpa melanjutkan jawaban pembelaan.

Khilafiyyah Furu’iyyah

Perdebatan di antara umat Islam adalah pada masalah-masalah yang sebenarnya tidak prinsipil. Banyak faktor yang melatarbelakanginya, satu di antaranya adalah ashabiyyah, berlebih-lebihan menganggap kelompok atau bahkan madzhab yang dianutnya paling benar. Sehingga unsur persatuan atau ukhuwah di antara umat tidak menjadi yang utama. Padahal, para Imam Madzhab telah mencontohkan hal-hal kedewasaan dalam melihat perbedaan.

Imam Ahmad bin Hanbal ra, “pendiri” Madzhab Hanbali, yang dikenal sebagai madzhab paling puritan, telah memberikan contoh-contoh akan “toleransi” antarmadzhab. Suatu ketika, beliau mendatangi majelis Imam Syafi’i, bersama beberapa muridnya. Saat shalat Subuh berjamaah, Imam Syafi’i meminta Imam Ahmad untuk menjadi Imam Shalat. Saat rakaat kedua, beliau menggunakan Qunut. Satu tradisi yang tidak dikenal dalam Madzhab Hanbali, tapi tradisi yang biasa dilakukan oleh Madzhab Syafi’i.

Saat perjalanan pulang, murid-murid yang menyertai Imam Ahmad, bertanya pada sang Guru, “Apakah mulai saat ini dan seterusnya kita memakai Qunut dalam setiap shalat Subuh?” “Tidak,” jawab Imam Ahmad. Lalu lanjutnya, “Menghormati majelis Imam Syafi’i jauh lebih utama dari pada harus bersikukuh dengan pendapatku.”

Itulah akhlak Sunnah, yang cenderung tidak ingin tampil menonjol di tengah-tengah pendapat yang sudah menjadi kebiasaan keseharian umat. Tidak “mengundang” asal beda, namun miskin manhaj dakwah.

Adalah Imam Ahmad pula yang meriwayatkan hadis-hadis tentang shalat Sunnah Qabliyah Maghrib, dan menyatakan keshahihannya. Namun, tidak seorang pun murid-muridnya yang pernah melihat beliau melakukan shalat Qabliyah Maghrib. Mengapa demikian?

Saat itu di Baghdad, penduduknya sudah “terlanjur” memakai pendapat Imam Abu Hanifah (Madzhab Hanafi), yang berpendapat tidak disunnahkannya Qabliyah Maghrib itu. Ujar Imam Ahmad, “Jika aku memakai sunnah qabliyah maghrib, tidak mustahil akan menimbulkan kebingungan atau bahkan bentrok di antara umat. Aku tidak menginginkan itu.”

Bijak berilmu pun ditampakkan Prof Buya Hamka, ulama terkemuka dan Ketua Umum MUI pertama, sering mencontohkan adegan demikian, yaitu “menekan ego” untuk kemaslahatan yang lebih besar. Ada perbuatan “ekstremnya”, saat mengundang ulama kesohor Betawi, KH Abdullah Syafi’i, untuk khutbah Jumat di Masjid Agung Al-Azhar. Buya Hamka meminta pada muadzin untuk azan dua kali, khas di masjid-masjid yang dikelola saudara-saudara Nahdliyin, dan itu sekadar menghormati SangTamu.

Inilah akhlak yang semestinya dimiliki pelaku dakwah, mencari keharmonisan di tengah tengah umat. Itu jauh lebih penting daripada sekadar “tampak” gagah dengan pendapat yang furu’ tapi mengorbankan ukhuwah dikalangan umat, yang bernilai wajib. Nasihat Imam Al-Ghazali dalam Ihya’-nya patut disampaikan. Duduklah di majelis-majelis ilmu, unduhlah ilmu dari guru yang mengajarkan hakikat ilmu (yang sebenarnya)... WallahuA’lam.

*) Pemerhati Sosial dan Keagamaan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement