Selasa 16 Jan 2018 00:06 WIB

Balada Antre BAB dan Harapan Dibangunnya MCK Komunal

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Andri Saubani
Ilustrasi warga masih beraktivitas mandi, cuci, dan kakus (MCK) di aliran sungai.
Foto: Antara/Wahdi Septiawan
Ilustrasi warga masih beraktivitas mandi, cuci, dan kakus (MCK) di aliran sungai.

REPUBLIKA.CO.ID,  Hampir tiap pagi, Elly Mulyani (32 tahun) harus meluangkan waktunya, mengantre untuk buang air besar (BAB) di toilet umum. Ia harus bergantian dengan warga RT 03 RW 02 Kelurahan Gudang, Bogor Tengah, lainnya. Waktu tunggu semakin lama ketika satu dari dua toilet yang tersedia tengah rusak akibat mampet.

Rutinitas antre di toilet umum sudah dijalani Elly sejak kecil. Sebab, di rumahnya tidak tersedia jamban dan septic tank. Hanya ada sepetak kamar mandi yang biasa digunakan untuk mandi ataupun cuci baju. "Kalau mau pipis atau BAB biasanya di luar (rumah)," ujar ibu dari satu anak itu ketika ditemui Republika.co.id di rumahnya, Sabtu (13/2).

Saat masih kecil, Elly kerap dibawa sang ibu ke Kali Pakancilan yang terletak kurang 100 meter dari rumahnya untuk buang air kecil ataupun BAB. Sesekali, ia juga mandi di sana dengan teman-teman dekat rumah. Perempuan paruh baya mencuci baju dan orang-orang tengah menyikat gigi sudah menjadi pemandangan biasa yang dilihat Elly ketika itu.

Menginjak remaja, Elly berpindah tempat ke toilet masjid yang berada di dekat rumah. Tapi, karena bergiliran dengan warga RW 08 dan RW 09 yang juga tidak memiliki jamban, Elly kerap memilih BAB di Kali Pakancilan. "Sudah terbiasa dari dulu, jadi gimana ya?" tuturnya sembari tersenyum.

Menurut Elly, kebiasaan itu diwariskan secara turun temurun dari generasi-generasi sebelumnya. Bahkan, kebiasaan BAB di Kali Pakacitan tetap dilakukan warga setempat setelah ada dua bilik toilet umum yang dibangun di dekat Posyandu. Fasilitas tersebut dibangun dari anggaran Kelurahan Gudang yang dilanjutkan biaya perawatannya oleh warga setempat.

Selama menjalani budaya tersebut, Elly melihat, tidak ada keluhan dari masyarakat terkait kesehatan. Sakit kulit maupun pencernaan yang kerap diidentikkan sebagai akibat dari BAB sembarangan hampir tidak pernah terjadi di lingkungannya. Kalaupun ada, hanya muntah berak (muntaber) yang disebabkan makanan tidak higienis.

Di samping sudah melekat dengan keseharian masyarakat, kebiasaan BAB di Kali tidak terlepas dari kurangnya fasilitas. Toilet umum yang kini sudah tersedia hanya berjumlah dua bilik. Sedangkan, total penggunanya mencapai 100 Kepala Keluarga (KK) yang merupakan warga RT 03 dan 04. Di dua RT ini, hanya sekira 15 KK yang punya jamban di rumah, ucap Elly.

Meski sudah terbiasa, bukan berarti warga setempat hanya berpangku tangan. Menurut Elly, aparatur setempat sudah kerap menyampaikan keluhan terkait keberadaan fasilitas mandi, cuci, kakus (MCK) komunal ke Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor. Tapi, sampai saat ini, belum ada balasan positif.

Ketiadaan MCK komunal di lingkungan menjadi alasan utama Syafrudin (45 tahun), warga RT 04 RW 08 Kelurahan Gudang, untuk buang hajat ke kali. "Karena nggak ada jamban di rumah, ya mau nggak mau ke sana (Kali Pakacitan). Kalau di toilet umum situ sering antre," ucap lelaki yang berdagang minuman dingin di teras rumahnya itu.

Bukan keinginan Syafrudin untuk tidak memiliki jamban di rumah. Bapak dari dua anak ini memiliki alasan kuat dari segi ekonomi. Harus menghidupi tiga anggota keluarga dengan pendapatan tak tentu membuatnya selalu mengurungkan niat untuk membangun MCK pribadi.

Kalaupun ada dana, Syafrudin tidak memprioritaskan poin tersebut. Sebab, di rumahnya yang hanya memiliki luasan kurang dari 50 meter persegi tidak cukup untuk dibangun MCK. "Jadi, saya mendingan ke kali saja. Anak-anak sudah terbiasa juga dan tidak terjadi apa-apa," ujarnya.

Kondisi serupa juga terjadi pada Kelurahan Kebon Kalapa. Menurut Lurah Kebon Kalapa, Nana Sumarna, perilaku BAB sembarangan yang masih dilakukan sebagian kecil masyarakatnya tidak terlepas dari ketiadaan fasilitas MCK komunal. Fasilitas ini dibutuhkan warga mengingat sebagian besar masyarakat di sana berasal dari kalangan menengah ke bawah.

Tapi, Nana mengatakan, perilaku tersebut tidak hanya dilakukan warga Kebon Kalapa. Tidak sedikit masyarakat pendatang yang buang hajat di sembarang tempat, termasuk kebun. "Kadang ada tukang becak atau warga dari luar sini yang melakukannya," tutur Nana ketika ditemui di kantornya, Jumat (12/1).

Tidak hanya mengajukan fasilitas MCK komunal ke Pemkot Bogor, Kelurahan Kebon Kalapa juga aktif melakukan sosialisasi guna mengantisipasi perilaku BAB sembarangan. Kegiatan ini rutin dilakukan terutama oleh Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

Tetapi, upaya edukasi tersebut tentu tidak akan berjalan maksimal apabila warga tidak diberikan fasilitas MCK secara langsung. Mereka tentu ingin yang real, nyata. Yaitu dengan dibangun sarana MCK komunal, ujar Nana yang sudah mengajukan fasilitas MCK komunal ke Pemkot Bogor untuk RW 01 dan RW 10.

Dari data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor, tercatat sebanyak 84 persen RW atau sekira 655 RW di Kota Bogor yang belum memenuhi syarat dalam pemakaian jamban secara 100 persen. Artinya, masih ada warga di daerah tersebut yang BAB secara sembarang atau tidak di jamban. Termasuk di antaranya di kebun ataupun aliran air sungai.

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian (P2P) Dinkes Kota Bogor, Lindawati, mengatakan, penyebab utama dari perilaku BAB sembarangan adalah faktor kemiskinan. Dengan pendapatan terbatas, masyarakat tidak sanggup membangun kakus untuk buang hajat. "Dampaknya, mereka memutuskan ke kebun atau kali," ucapnya saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (20/12).

Di samping kemiskinan, kebiasaan yang sudah tumbuh di tengah masyarakat dan kini telah menjadi budaya, juga berperan penting. Linda mengatakan, di beberapa tempat, masih ada warga yang merasa lebih nyaman saat BAB di kali sekalipun sudah dibangun fasilitas MCK komunal di lingkungannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement