REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua MPR RI Zulkifli Hasan meminta semua kalangan mencegah politik uang dalam pemilihan kepala daerah serentak yang akan berlangsung pada 2018. Zulkifli mengingatkan para pasangan calon (paslon) agar berkompetisi dengan cara-cara yang baik.
Dia meminta kontestan yang bertarung dalam pilkada untuk tidak menghalalkan segala cara dalam upaya memenangi kursi kepala daerah. "Jangan menggunakan politik uang, jangan memecah belah dan memakai SARA. Pilkada harus dilakukan dengan cara yang bijak karena sesungguhnya kita berkompetisi," katanya, seperti dikutip Antara, Ahad (14/1).
Dalam pilkada, lanjut Zulkifli, semestinya yang diadu adalah konsep, gagasan, program, dan figur. Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) ini menjamin partainya tidak menerima mahar dalam bentuk uang dari paslon yang diusung.
Namun, dia mengakui, seseorang calon kepala daerah harus memiliki modal untuk maju dalam pilkada. Modal itu bukan untuk partai politik, melainkan dana operasional berbagai kegiatan, seperti kampanye.
Biaya operasional untuk menyukseskan calon kepala daerah tak hanya berasal dari calon tersebut, tetapi dana patungan dari kader-kader partai. “Ini patungan, saya patungan, Pak Sudirman Said juga nyumbang,” ujarnya di Solo.
Polemik mahar politik mencuat setelah mantan ketua umum PSSI La Nyalla Mattalitti mengaku dimintai mahar oleh Gerindra agar bisa diusung di Pilkada Jawa Timur. Setelah itu, muncul pernyataan bakal calon wali kota Cirebon Brigjen Siswandi yang mengaku dimintai mahar oleh PKS agar bisa diusung di pemilihan bupati Cirebon. Tudingan itu langsung dibantah PKS.
Sekretaris Umum DPW PKS Jawa Barat Abdul Hadi Wijaya mengatakan, PKS telah melakukan investigasi terhadap semua pihak di internal partai yang terlibat dalam proses penerbitan surat keputusan untuk bakal calon wali kota dan wakil wali kota Cirebon.
"Kami sudah konfirmasikan kepada Bapak Siswandi siapa oknum yang meminta dana kepada beliau dan bagaimana prosesnya. Namun, beliau tidak bisa menyampaikan jawaban yang pasti," kata Hadi, Ahad.
Abdul Hadi menambahkan, proses penentuan kandidat kepala daerah Kota Cirebon cukup dinamis. Semua komunikasi antarstruktur partai terdokumentasi rapi. Sepanjang catatan internal, DPW PKS Jabar tidak pernah memproses nama Siswandi-Euis. DPP PKS juga mustahil memproses nama yang tidak diajukan secara resmi oleh DPW.
"Dengan demikian, kami sampaikan bahwa pemberitaan terkait adanya persyaratan materiel tertentu dari PKS kepada Bapak Siswandi yang menjadi sebab tidak terbitnya SK bakal calon wali kota wakil wali kota Cirebon adalah tidak benar," tutur dia.
Tolak politik uang.
Perkara tersebut membuat hubungan PKS dan PAN di Cirebon sedikit memanas. DPD PAN Cirebon merasa dirugikan. Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno bahkan sampai turun tangan memberi instruksi agar DPD PAN Cirebon tidak melayangkan gugatan terhadap PKS.
"Saya melarang DPD PAN Kota Cirebon menggugat PKS karena tindakan tersebut tidak akan menyelesaikan masalah," ungkap Eddy.
Eddy meminta masalah itu sebaiknya diselesaikan dengan musyawarah untuk menjaga spirit ukhuwah sesama partai umat (koalisi umat). "Pesan saya, lakukan tabayun, utamakan ukhuwah dan saling memaafkan," tuturnya.
Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Reseach and Consulting Pangi Syarwi Chaniago melihat isu uang mahar sudah tak asing lagi di balik pencalonan kepala daerah. Menurut dia, dalam kepentingan koalisi di pilkada, kecenderungannya juga bukan berdasar kepentingan idelogis atau sekadar platform partai.
"Ada faktor mahar politik. Biasanya partai mengusung kader eksternal karena bisa 'membayar'. Saat itu biasanya disebut sebagai 'masa panen'," kata dia, Ahad.
Kader eksternal tersebut dijual untuk membesarkan partai. Makanya, partai menjadi menerima mahar. Ada pula dana yang ditanggung selebihnya atau diupayakan oleh partai. Mahar politik memang tidak selalu berlaku, yaitu hanya pada kondisi tertentu.
Ada kalanya partai menanggung seluruh dana, misalnya karena calon yang diusung punya probabilitas tinggi untuk menang. Faktor lainnya seperti syarat memasangkan kader internal dengan calon kepala daerah yang hendak diusung.
Kedok
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Rahmat Bagja, mengatakan, politik uang berkedok kegiatan agama rawan terjadi di pilkada serentak 2018. Tahapan kampanye dan pemungutan suara pilkada tahun ini beririsan dengan bulan Ramadhan dan Idul Fitri.
"Pemungutan suara itu hanya selang dua pekan setelah Hari Raya Idul Fitri, sementara kampanye dilakukan pada bulan Ramadhan. Ini yang menjadi beban bagi kami karena akan ada banyak politik uang berkedok kegiatan agama," kata dia, Sabtu (12/1).
Kegiatan berupa shalat Tarawih bersama, buka puasa bersama, halal bihalal, dan open house bersama berpotensi besar disalahgunakan untuk menyalurkan politik uang. Bawaslu meminta masyarakat di 171 daerah penyelenggara pilkada mewaspadai sejak dini bentuk-bentuk politik uang semacam ini. Sebab, bukan tidak mungkin kegiatan politik uang juga akan melibatkan aparatur sipil negara (ASN).
(dian erika nugraheny/antara, pengolah: agus raharjo).