Senin 15 Jan 2018 06:00 WIB

Undangan dari Al Azhar

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Beberapa hari lalu saya menerima undangan dari Al Azhar, Mesir, untuk menghadiri konferensi tentang Yerusalem pada 16-18 Januari ini di Kairo. Saya tentu saja senang. Sangat antusias. Apalagi selain konferensi, saya tentu akan bisa mengunjungi gedung-gedung kokoh nan ‘angker’ Al Azhar yang kini sudah berusia lebih dari seribu tahun.

Gedung-gedung lama dan baru yang tersebar di beberapa kawasan di Kairo. Gedung-gedung tua Al Azhar di Distrik Husein, tempat saya  menuntut ilmu selama lima tahun — setahun off alias meliburkan diri — di Fakultas Bahasa Arab (sastra) jurusan sejarah dan kebudayaan.

Saya akan bernostalgia, bertemu dengan dosen-dosen, berjumpa dengan para mahasiswa/mahasiswi, yang kini berjumlah lebih dari 400 ribu orang dari berbagai negara. Saya akan menyaksikan para mahasiswa sedang bercengkerama dan berdiskusi di taman-taman, di asrama, dan di kafe-kafe.

Waktu saya kuliah dulu sekitar pertengahan 1980-an, mahasiswa/mahasiswi dari Indonesia tak lebih dari 500 orang. Mereka kuliah di berbagai jurusan, terbanyak dalam bidang agama (Islam).

Kini jumlah para penuntut ilmu di negeri berjuluk Ummu ad Dunya itu sudah di sekitaran lima ribu orang. Peningkatan jumlah mahasiswa itu, konon, karena novel-novel inspiratif karya Kang Abik (Habiburrahman El Shirazy) yang merupakan alumnus Fakultas Ushuludin Jurusan Hadis Universitas Al Azhar.

Beberapa novel Kang Abik sudah diangkat ke layar lebar. Kini film ‘Ayat-ayat Cinta 2’ sedang tayang di gedung-gedung bioskop seluruh Indonesia dan beberapa negara tetangga. Bisa ditebak, mengapa banyak anak-anak muda kita ingin belajar di Al Azhar. Tampaknya, mereka bermimpi ingin menjadi Fahri atau pacar-pacarnya. Fahri merupakan tokoh sentral dalam novel dan juga film ‘Ayat-ayat Cinta 1 dan 2’.

Tentu bukan hanya cinta dan romansa bila para pemuda/pemudi kita ingin belajar di Al Azhar. Alasan utamanya karena Universitas Al Azhar merupakan gudangnya llmu pengetahuan. Dalam bahasa pimpinan Pondok Modern Gontor, ‘‘Bila kalian ingin beribadah pergilah ke Makkah dan Madinah, bila ingin menimba ilmu pergilah ke Mesir (Al Azhar), dan jika ingin pendidikan pergilah ke Gontor.’’

Dalam catatan sejarah, interaksi para penuntut ilmu dari Indonesia dengan para ulama Al Azhar sudah berlangsung sekitar pertengahan abad ke-19. Yaitu ketika mereka pergi haji dan kemudian menetap di Mekah dan Madinah untuk belajar kepada para ulama dan sheikh Al Azhar. Dari situ, sebagian dari mereka ada yang meneruskan perjalanan ke Kairo untuk melanjutkan menuntut ilmu. Mereka kemudian tinggal di salah satu dari Ruwaq Masjid Al Azhar di daerah Husein, Kairo.

Ruwaq adalah bangunan tambahan yang menyatu dengan masjid. Ia berfungsi sebagai tempat tinggal santri/pelajar dan sekaligus tempat kegiatan belajar mengajar.Berbeda dengan sekarang, para mahasiswa kini tinggal di asrama modern atau apartemen.

Sejak periode Ruwaq hingga sekarang tidak putus-putusnya para pemuda Indonesia menuntut ilmu di Al Azhar. Kebanyakan alumninya mengabdikan diri dalam bidang dakwah, sosial, pendidikan, dan juga poltik. Jumlah mereka kini sudah lebih dari 30 ribu yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.  

Di antara para alumni itu, sekadar menyebut nama, adalah almarhum KH Abdurrahman Wahid (Presiden RI ke-4), Prof Dr Quraish Shihab (mantan menteri agama), KH Mustofa Bisri (tokoh NU), Dr KH Surahman Hidayat (Ketua Dewan Syariah PKS), dan KH Dr Azman Ismail (imam besar Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh). Juga tiga pimpinan Pondok Modern Gontor -- KH Syukri Zarkasyi, KH Hasan Abdullah Sahal, dan KH Dr Amal Fathullah Zarkasyi (Rektor Universitas Darussalam Gondor/Unida).

Berikutnya adalah Ustad Abdul Somad MA (40 tahun), Habiburrahman El Shirazy alias Kang Abik (41 tahun), dan Tuan Guru Bajang (TGB) Dr KH Tuan Guru Muhammad Zainul Majdi (45 tahun). Tiga nama yang terakhir ini merupakan alumni muda Al Azhar yang kini sedang menjadi ‘bintang’.

Ustad Somad adalah dai yang ceramahnya digandrungi masyarakat. Jadwal ceramahnya full booked hingga tahun depan. Ketika berceramah, ia menyelingi dengan humor-humor segar namun tetap bernas. Apalagi ia berlatarbelakang akademik yang sangat mumpuni. Sedangkan Kang Abik merupakan novelis inspiratif. Sejumlah novelnya sudah difilmkan dan mendapat sambutan gegap gempita di masyarakat.

Berikutnya adalah Tuan Guru Muhammad Zainul Majdi yang akrab dipanggil TGB. Nama yang terakhir ini merupakan kiai tulen. Ia adalah cucu langsung dari Maulana Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid, pejuang dan pendiri Nahdlatul Wathan (NW). Pada November lalu Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada kakek TGB ini.

TGB sendiri sudah hafal Alquran pada usia 12 tahun. Hingga tingkat SMA ia dididik di lingkungan NW. Selepas itu, ia meneruskan pendidikan di Universitas Al Azhar, Mesir, hingga meraih gelar MA (S2). Pulang ke Indonesia ia pun berjuang di bidang politik dan terpilih sebagai anggota DPR.

Ia kemudian mencalonkan sebagai Gubernur NTB dan terpilih hingga dua periode. Ketika menjadi gubernur inilah ia menempuh program doktor di universitas yang sama. Disertasinya berjudul "Studi Metologis dan Analitis Tafsir Ibnu Kamal Basya". Ia memperoleh predikat summa cum laude.

Namun, TGB bukan hanya akademisi dan ulama. Sebagai gubernur ia telah berhasil menghadirkan kedamaian dan kerukuman di kalangan masyarakat NTB. Ia juga sukses membangun dan memajukan sektor-sektor lain, terutama di bidang ekonomi. Dalam tiga tahun berturut-turut, ekonomi NTB tumbuh di atas rata-rata nasional. Begitu juga dengan angka kemiskinan, yang berhasil ia turunkan dengan persentase lebih baik dibandingkan rata-rata nasional.

Yang perlu digarisbawahi dari para alumni Al Azhar yang telah berkiparah di masyarakat adalah bahwa mereka telah berhasil menerjemahkan Islam moderat (washatiyah) di bumi Nusantara. Islam moderat yang berarti jalan tengah, toleran, ramah dan mengayomi, membawa kedamaian, saling menghormati dan menerima segala perbedaan.

Bukan Islam yang justru mengancam, saling menegasikan, dan menebar ketakutan. Sungguh sebuah sikap keagamaan yang kini dibutuhkan oleh Indonesia dan bahkan dunia yang kini sedang terkoyak oleh serba ekstrem. Baik ekstrem kanan maupun kiri. Dari yang liberal hingga yang suka mengkafirkan orang lain.

Dan, TGB kini mendapat tugas tambahan. Pada Oktober tahun lalu ia telah didaulat mengomandani Organisasi Internasional Alumni Al Azhar Cabang Indonesia. Salah satu tugasnya mengajak 30 ribu lebih para alumni al-Azhar yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia untuk menebarkan moderasi Islam di tengah masyarakat. Moderasi Islam yang menjadi salah satu agenda utama al-Azhar. Moderasi Islam yang diperlukan Indonesia dalam bingkai NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, dan UUD 1945.

Kembali pada undangan yang saya terima, isinya sangat singkat. Hanya lewat WA (WhatsApp) pula. ‘’Anda diundang untuk mengikuti seminar tentang Yerusalem yang diselenggarakan oleh Al Azhar bekerja sama dengan Majelis Hukama al Muslimin pada 16-18 Januari,’’ bunyi WA yang saya terima.

Ketika saya jawab ‘oke’, tidak lama kemudian tiket pun dikirim, lewat WA juga, dan saya diminta untuk segera mengambil visa di Kedutaan Mesir di Jakarta. Cukup sederhana, efisien, dan tidak bertele-tele. Sungguh saya sangat antusias untuk memenuhiundangan Al Azhar yang sangat prestisius ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement