REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan tahun 2018 adalah periode momentum yang sangat krusial dalam demokrasi Indonesia antara lain karena ada ancaman korupsi di balik pemilihan kepala daerah (Pilkada) di berbagai daerah. Siaran pers ICW menyebutkan, 2018 tepat disebut tahun "sibuk politik" karena selain perhelatan Pilkada serentak di 171 daerah, pada saat bersamaan juga sudah dimulai tahapan pemilihan anggota legislatif dan presiden serentak 2019.
LSM tersebut menilai, kontestasi elektoral kerap diwarnai berbagai macam masalah, salah satunya tindak pidana korupsi. Sejumlah kasus yang ditangani penegak hukum, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memiliki keterkaitan dengan persoalan elektoral. Hal itu terindikasi mulai dari permainan anggaran, pemberian perizinan usaha, jual beli jabatan di daerah, hingga suap pemenangan sengketa Pilkada pada Hakim Konstitusi.
Sementara bagi parpol, pilkada 2018 menjadi langkah untuk menakar seberapa kuat dan efektif mesin partai dijalankan menjelang pemilu presiden yang akan datang. Bahkan, jarak antara waktu pencoblosan pilkada serentak pada tanggal 27 Juni dengan jadwal pendaftaran calon presiden dan wakil presiden hanya berselang 38 hari. Hal inilah yang membuat potensi berbagai penyimpangan dan konflik berada pada titik klimaks.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meminta rakyat untuk bersama mengelola kebhinekaan dan perbedaan di tahun politik agar Indonesia menjadi kekuatan besar dan maju. Presiden ketika memberikan kuliah umum di Universitas Muhammadiyah Kupang, Senin (8/1), menyebutkan Indonesia adalah negara besar yang terdiri atas beragam budaya, adat istiadat, keyakinan, suku, dan bahasa. Namun, perbedaan tersebut hendaknya tidak dijadikan sebagai benih perpecahan, tapi sebagai sebuah kekuatan bersama yang akan menjadikan Indonesia semakin maju.
Sementara itu, pengamat komunikasi politik Universitas Paramadina Dr Hendri Satrio mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai hoaks atau berita palsu dan narasi kekerasan berbau SARA yang berseliweran pada tahun politik 2018 dan 2019.
"Kuncinya adalah selektif dalam menilai setiap pesan yang beredar dan dewasa dalam menyikapi pesan yang beredar," kata Hendri di Jakarta, Selasa (9/1).
Menurut dia, hoaks dan narasi kekerasan itu sulit dihindari di tengah booming media sosial dan teknologi informasi sehingga semua pihak harus benar-benar memiliki pengetahuan sebagai benteng untuk memberantas hoaks dan narasi kekerasan tersebut.