Kamis 11 Jan 2018 14:00 WIB

MK Tolak Uji Materi Presidential Treshold

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Andi Nur Aminah
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat bersama Majelis Hakim MK lainnya memimpin jalannya sidang uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dengan agenda pembacaan putusan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (11/1).
Foto: Republika/Prayogi
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat bersama Majelis Hakim MK lainnya memimpin jalannya sidang uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dengan agenda pembacaan putusan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (11/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Pasal 222 UU No.7/2017 tentang Pemilu yang diajukan Partai Idaman. Menurut MK, aturan soal presidential treshold (PT) yang diatur pada pasal tersebut dapat memperkuat sistem pemerintahan presidensial.

"Pokok permohonan pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 222 UU No 7/2017 tentang Pemilu tidak beralasan menurut hukum," ucap Ketua Hakim MK Arief Hidayat dalam persidangan di Gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (11/1).

Dalam pertimbangannya, mahkamah menyebutkan, argumentasi teoritik konstitusionalitas ambang batas minimum tersebut bukanlah diturunkan dari logika disatukan atau dipisahkannya Pemilu dan Pileg. Argumentasi teoretik itu, dia menjelaskan, justru untuk memperkuat sistem presidensial.

"Dalam pengertian mewujudkan sistem dan praktik pemerintahan yang makin mendekati ciri atau syarat ideal sistem pemerintahan residensial sehingga tercegahnya praktik yang justru menunjukkan ciri-ciri sistem parlementer," ujar hakim konstitusi.

photo
Suasana sidang uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dengan agenda pembacaan putusan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (11/1).

Mahkamah juga menanggapi dalil pemohon yang menyebutkan, ketentuan presidential treshold yang termuat dalam Pasal 222 UU Pemilu merusak sistem presidensial. Pemohon juga menyebutkan hal itu mengeliminasi fungsi evaluasi penyelenggaraan pemilu.

 
"Ketentuan yang termuat dalam Pasal 222 UU Pemilu justru bersesuaian dengan gagasan penguatan sistem Presidensial yang menjadi desain konstitusional UUD 1945," katanya.
 
Soal dalil berikutnya, yaitu Pasal 222 UU Pemilu mengeliminasi evaluasi penyelenggaraan pemilu, adalah anggapan pemohon. Anggapan tentang adanya ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja DPR dan Presiden-Wakil Presiden yang terpilih dalam Pemilu 2014.
 
"Dengan asumsi, rakyat akan dihadapkan pada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang sama yang akan berkompetisi dalam Pemilu 2019 sebagaimana ditegaskan Pemohon dalam Permohonannya," jelas dia.
 
Anggapan tersebut mahkamah nilai terlalu prematur. Itu karena pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pada 2019 nanti belum tentu sama dengan 2014 lalu. Menurut mahkamah, anggapan demikian baru akan terbukti secara post factum atau setelah terjadi.
 
"Lagi pula, kalaupun anggapan demikian benar, quod non, hal itu tidaklah serta-merta menjadikan norma yang terkandung dalam Pasal 222 UU Pemilu menjadi tidak konstitusional," terangnya.
 
Pemohon juga mengatakan, ketentuan presidential threshold tak relevan untuk Pemilu 2019 karena telah digunakan dalam Pemilu 2014. Mahkamah berpendapat, UU yang mengatur tentang Pemilu 2014 bukanlah UU a quo.
 
"Melainkan UU 8/2012 yang tidak atau belum memberlakukan ketentuan tentang presidential threshold dalam proses pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden," lanjut Arief.
 
Lagi pula, kata dia, bagaimana mungkin UU yang lahir belakangan dikatakan kedaluwarsa terhadap suatu keadaan atau peristiwa yang terjadi sebelumnya yang tunduk pada undang-undang yang berbeda. Pada putusan ini, terdapat dua hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda. Mereka adalah Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement