Ahad 07 Jan 2018 00:34 WIB

Politik Islam Menentukan Jalannya Syariat

Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) menggelar pengajian rutin yang dibawakan oleh Dr Tgk Ajidar Matsyah.
Foto: Dok IPB
Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) menggelar pengajian rutin yang dibawakan oleh Dr Tgk Ajidar Matsyah.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Dalam Islam, politik menempati peran yang cukup penting bagaikan saudara kembar yang saling membutuhkan. Dalam berpolitik, Islam juga menjadi pijakan utama.

Ibarat dua sisi mata uang, keduanya memang mustahil untuk dipisahkan. Pentingnya posisi politik bahkan diletakkan hanya satu garis di bawah kenabian.

“Ketaatan kepada pemegang posisi politik atau pemimpin umat (ulil amri) harus diberikan setelah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya,” kata Dr Tgk  H  Ajidar Matsyah, Lc MA ‎(Direktur Dayah Tinggi Islam Samudera Pase, Baktiya, Aceh Utara).

Ia mengemukakan hal tersebut saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Rabu (3/1) malam. Turut hadir Wakil Rektor III UIN Ar-Raniry, Prof  Dr  Syamsul Rijal MAg dan Prof  Dr  Yusny Saby MA (mantan Rektor IAIN Ar-Raniry).

 .

Karenanya, kata Tgk Ajidar Matsyah, umat Islam saat ini secara nasional dan Aceh khususnya sangat memerlukan penguasaan posisi politik yang bisa mendukung untuk lebih memperkuat jalannya syariat Islam di tengah-tengah masyarakat lewat berbagai kebijakan dan regulasi yang memihak kepada kepentingan Islam.

‎"Hari ini kita untuk bisa menjalankan syariat seperti ibadah, hukum, muamalah, ekonomi syariah‎ perlu pemimpin politik yang berpihak pada kepentingan Islam.‎ Mari kita ubah mindset, karena politik itu bukan sesuatu yang kotor, mari kita beragama dalam politik untuk memperkuat Islam, bukan sebaliknya berpolitik dalam agama‎," ujar Ustaz Ajidar Matsyah dalam rilis KWPSI yang diterima Republika.co.id, Jumat (5/1).

‎Dijelaskannya, jika dibenarkan catatan para sejarawan, maka syariat di Aceh sudah berusia lebih kurang 1.214 tahun. Hitungan ini dihitung sejak dideklarasinya Kerajaan Islam Peureulak sebagai kerajaan Islam pertama di Aceh yaitu pada 25 Muharram tahun 225 H.

"Hari ini kita sudah berada di tahun 1439 H, maka dikurangi dengan 225 H, jumlahnya kira-kira 1.214 tahun. Namun hari ini, syariat di Aceh pasca MoU Helsinki telah diformulasikan dalam bentuk qanun sebagai regulasi yang mengaturnya, lalu muncul harapan dan tantangan dalam pelaksanaannya. Pertanyaannya bagaimana masa depan syariat di Aceh?"  ujarnya.

Dosen Siyasah Syariah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry ini menyebutkan, syariat hadir dengan membawa dan memberlakukan beberapa nilai objektif sebagai maqashid syariah. Yaitu, menjaga agama, melindungi jiwa,‎ melindungi akal,‎ menjaga harga diri serta menjaga harta umat Islam dari berbagai gangguan.

Untuk itulah dibutuhkan politik dalam Islam. Namun yang menjadi masalah, ini menjadi kelemahan‎ umat Islam hari ini karena kebutaan pada politik sebagai bagian dari agama.

"Nilai objektif sebagai maqashid syariah tersebut tidak mungkin dapat diimplimentasikan kalau bukan lewat siyasah syariyah atau politik Islam. Tidak mungkin ekonomi syariah dapat berjalan efektif kalau politiknya masih non-syariah," tuturnya.

Ditambahkannya, siyasah syariah merupakan bagian dari agama, karena fungsi politik Islam untuk melindungi lima hal tersebut. Untuk itu sudah saatnya umat Islam kembali ke siyasah syariyah sebagai mana yang pernah dicontohkan di era pemerintahan Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya.

"Kenapa umat hari ini menganggap politik sesuatu yang kotor, malah ada yang mengharamkan. Bukankah Nabi SAW pernah menjadi kepala negara Madinah, dan kepala negara adalah jabatan politik tertinggi? Penyakit kronis yang menimpa umat Islam hari ini adalah kebutaannya terhadap politik. Padahal dulu di Aceh, ketika disebut pemimpin pasti ulama, ketika disebut ulama pasti pemimpin," sebutnya.

Untuk itu, Ustaz Ajidar mengajak sudah saatnya umat yang mengerti syariat mengambil posisi praktis dalam politik agar dapat mensyariatkan politik itu sendiri.

"Ini sangat penting karena yariat Islam di Aceh sekarang sudah diformulasikan dalam qanun sebagai regulasi yang dirumuskan lewat proses politik di DPRA dan Pemerintah Aceh. Ini menjadi tantangan kita karena sampai sekarang masih ada orang di luar yang menilai syariat Islam di Aceh bertentangan dengan UU yang lebih tinggi. Mereka tidak paham kita ada UUPA yang di dalamnya mengatur syariat Islam," paparnya.

Hal lainnya,  kata Ustaz Ajidar, hari ini juga cukup banyak orang yang alergi dengan implementasi syariat di Aceh. Bukan hanya mereka dari luar tapi juga di Aceh‎ itu sendiri, banyak yang tidak senang dengan syariat.

"Mereka kadang masih mempersoalkan syariat Islam di Aceh belum berjalan secara kaffah karena masih adanya pelanggaran syariat. Padahal yang jalannya syariat itu, bukan tidak ada lagi pelanggaran syariat, tapi ketika ada pelanggaran, hukum syariat itu harus ditegakkan dan berjalan secara tegas," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement