REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti dari The Center for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes mengatakan perubahan susunan menteri "reshuffle" terhadap Menteri Perindustrian, Airlangga Hartato berpotensi menciptakan kegaduhan politik di tubuh Partai Golkar. Dalam diskusi bertajuk "Perlukah Airlangga Mundur" di Jakarta, Sabtu (6/1), Arya menilai kemungkinan akan sangat kecil bagi Presiden Joko Widodo untuk menggeser Menperin Airlangga Hartato dari jabatannya setelah terpilih menjadi Ketua Umum Golkar pada Rapat Pleno DPP Partai Golkar pertengahan Desember 2017 lalu.
"Karena dalam dua 'reshuffle' politik menciptakan kegaduhan. Jokowi sangat menghindari sekali kegaduhan itu. Begitu juga efek pada Golkar. Kalau ada pergantian menteri, tentu ada gejolak dalam partai," kata Arya.
Dalam waktu kurang dari setahun, pada Agustus sampai September mendatang, tahapan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019-2014 pun juga akan dimulai. Oleh karena itu, Jokowi dinilai akan tetap mempertahankan posisi Airlangga sebagai Menteri Perindustrian.
Selain itu, Arya memandang jika perombakan menteri dilakukan, Golkar tentu harus mengusulkan kader lainnya yang pantas menggantikan Airlangga di tengah fokus pada pergantian Setya Novanto dari Ketua DPR. Seluruh partai politik pun tengah disibukkan pada masa pendaftaran kepala daerah pada 8-10 Januari 2018 menjelang Pilkada Serentak di 171 daerah.
Dalam kesempatan yang sama, Peneliti dari Saiful Mujani Research Consulting (SMRC), Sirojudin Abbas mengatakan perombakan menteri berpotensi merusak hubungan Jokowi dengan Golkar. "Jika ada pergeseran Airlangga, saya kira akan merusak hubungan Jokowi dengan golkar karena ada kebutuhan Jokowi untuk tetap melindungi 'leverage' politik Airlangga di Golkar," ujar Abbas.
Ia memandang Jokowi tentunya membutuhkan dukungan dari partai lain di luar pendukungnya, yakni PDI Perjuangan, jika langkahnya mantap untuk maju pada Pilpres 2019. Terkait dengan janji Jokowi sejak kampanye yang memastikan menteri-menterinya di Kabinet Kerja tidak ada rangkap jabatan terutama sebagai ketum parpol, keputusan untuk tidak menggeser Airlangga menjadi tidak terlalu berisiko di mata publik.
Saat ini, legitimasi dan elektabilitas Jokowi sebagai presiden sudah terbilang tinggi di mata masyarakat dengan tingkat kepuasan dan penerimaan "approval" 70 persen. "Saat kampanye masih ada keraguan di publik sehingga harus dijawab dengan tim profesional. Ketika sekarang publik tidak meragukan kepemimpinan Jokowi dan beban pembuktian diri semakin kecil, Jokowi tidak terlalu berat dan berisiko jika tetap mempertahankan Airlangga di posisi menteri saat ini," ungkapnya.