REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa hukum terdakwa kasus korupsi proyek pengadaan KTP-elektronik (KTP-el) Setya Novanto, Maqdir Ismail mengatakan, belum akan mengajukan permohonan status justice collabolator (JC) kepada KPK untuk kliennya. JC adalah status untuk terdakwa yang ingin bekerja sama dengan KPK dalam mengungkap kasus korupsi yang melibatkannya.
"Belum. Kita belum pastikan mau mengajukan JC atau tidak karena saya katakan tadi, kita tidak mau karena JC itu menyebut nama orang. Kita kan gak mau jadi sumber fitnah ya. Jadi, karena itu lah makanya kita akan coba lihat secara baik fakta yang kita punya itu apa dan yang akan kita laporkan itu siapa," terang Maqdir di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (4/1).
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menolak eksepsi atau nota keberatan dari Novanto. Sehingga, persidangan kasus korupsi yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun itu akan dilanjutkan ke sidang pokok perkara pemeriksaan saksi pada Kamis (11/1) pekan depan.
Dalam surat dakwaannya, Novanto didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman maksimal hukuman seumur hidup atau maksimal 20 tahun penjara. Novanto didakwa menyalahgunakan kewenangan selaku anggota DPR dalam proyek pengadaan KTP-el.
Perbuatan Novanto itu menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun. Menurut jaksa, Novanto secara langsung atau tidak langsung mengintervensi penganggaran serta pengadaan barang dan jasa dalam proyek KTP-el tahun 2011-2013.
Penyalahgunaan kewenangan itu dilakukan Novanto untuk menguntungkan diri sendiri serta memperkaya orang lain dan korporasi. Menurut jaksa, Novanto telah diperkaya 7,3 juta dolar AS dan menerima jam tangan Richard Mille seharga 135 ribu dolar AS.