Kamis 04 Jan 2018 10:58 WIB

NU Ingatkan Politik Uang dan SARA

Rep: Novita Intan/ Red: Elba Damhuri
Bendahara PBNU Bina Suhendra bersama Ketua PBNU Bidang Hukum Robikin Emhaz, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj dan Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini saat melakukan konferensi pers di Kantor PBNU, Jakarta, Rabu (3/1).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Bendahara PBNU Bina Suhendra bersama Ketua PBNU Bidang Hukum Robikin Emhaz, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj dan Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini saat melakukan konferensi pers di Kantor PBNU, Jakarta, Rabu (3/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Awal 2018, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melakukan evaluasi terhadap bangsa Indonesia. Salah satunya, kekuatan politik dan demokrasi bangsa.

Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj, menilai mekanisme demokrasi telah menghasilkan dua ekses yang merusak demokrasi, yakni politik uang dan SARA. Padahal, demokrasi adalah pilihan terbaik sebagai sistem penyelenggaraan kehidupan berbangsa yang majemuk.

Mekanisme dan kelembagaan demokrasi telah berjalan dan sampai ke titik yang tak bisa mundur lagi. "Keduanya (politik uang dan SARA) adalah bentuk kejahatan yang terbukti bukan hanya menodai demokrasi, tetapi mengancam Pancasila dan NKRI," kata KH Aqil, Kamis (4/1).

Jika politik uang merusak legitimasi, sambung dia, maka politik SARA merusak kesatuan sosial melalui sentimen primordial yang mengoyak anyaman kebangsaan yang telah susah payah dirajut oleh para pendiri bangsa.

Menurut KH Aqil, Presiden dan wakil presiden telah dipilih secara langsung oleh rakyat, begitu juga gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan wali kota-wakil wali kota. Tidak ada lagi wakil rakyat, baik DPR maupun DPD, yang duduk di parlemen dengan cara diangkat.

Semuanya dipilih langsung oleh rakyat. Representasi rakyat ini pula yang kelak meloloskan jabatan-jabatan publik lain, baik di cabang kekuasaan eksekutif maupun yudikatif.

Ia memandang, pergelaran Pilkada DKI 2017 masih menyisakan noktah hitam bahwa perebutan kekuasaan politik dapat menghalalkan segala cara yang merusak demokrasi dan menggerogoti pilar-pilar NKRI.

"Pengalaman ini harus menjadi bahan refleksi untuk mawas diri. Demokrasi harus difilter dari ekses-ekses negatif melalui literasi sosial dan penegakan hukum," ungkapnya.

Untuk itu, ia meminta aparat penegak hukum harus kredibel dan andal dalam penegakan hukum terkait kejahatan politik uang dan penggunaan sentimen SARA. Ini penting karena pada tahun 2018 dan 2019, Indonesia akan memasuki tahun-tahun politik.

"Tahun 2018 akan digelar Pilkada serentak di 171 daerah. Tahun 2019 akan digelar hajatan akbar yaitu Pilpres dan Pileg serentak," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement