Kamis 04 Jan 2018 04:01 WIB
Bagian 1

Gelombang Ketiga Gerakan Zakat Indonesia

Nana Sudiana
Foto: dok. Humas PKPU
Nana Sudiana

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Nana Sudiana *)

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan".(QS. Al Hashr (59) : 18).

Perubahan waktu dalam kehidupan manusia saat ini seolah semakin cepat berlalu, masa silam pun tak terasa telah menjadi sejarah dan terekam sempurna dibilangan masa. Hidup demikian terasa cepat berubah, padahal sejarah seolah belum jauh terlewati dan begitu banyak kenangan dan keinginan belum teraih sempurna.

Dibalik ini semua, sejarah apapun seakan begitu rapuh tertinggal di masa lalu yang jauh, yang bila tak tertulis dengan baik hanya akan jadi kenangan tak bernilai, bagaikan onggokan sampah. Karena itulah, sejarah perlu terus dirawat dan dipelihara untuk dipahami dan diberikan makna atas setiap perubahan yang terjadi didalamnya.

Bila kita lihat ayat yang dikutip di atas, kita mendapatkan sebuah penggalan kalimat “wal tandzur nafsun maa qaddamat lighad” yang berarti "Perhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok (akhirat)". Penggalan ini seakan pengingat untuk kita semua. Dalam bahasa serupa, seolah pesan amat berharga: "Perhatikanlah sejarahmu, untuk masa depanmu". Mengapa demikian penting kita belajar dari masa lalu?

Jangan lupakan sejarah

Sejarah amat penting bagi manusia. Dengan memahami sejarah, kita bisa belajar agar terhindar dari kesalahan yang sama di masa lalu. Dengan belajar dan memahami sejarah juga kita bisa lebih cepat menggapai masa depan yang indah tanpa harus mengulang penggalan kisah kegagalan orang-orang terdahulu yang pernah melewatinya. Dari sejarah kita bisa memilih, mau menempuh jalan biasa dengan lika-liku yang penuh onak duri dan bisa berdarah-darah atau mau melewati jalan lain yang lebih ramah dan aman serta lebih cepat menuju titik pencapaian tujuan.

Bila kita pahami kata "sejarah" secara terminologis, ternyata ia bersumber dari Bahasa Arab yang berbunyi "syajaratun" yang artinya pohon. Dalam sisi istilah kata tersebut merujuk pada gambaran sebuah pertumbuhan peradaban manusia dengan perlambang ‘pohon’. Pohon sebagaimana kita tahu, adalah tumbuhan yang ia bermula sebagiannya dari biji yang amat kecil dan sederhana bentuknya yang lalu bertumbuh menjadi besar dan rindang. Dari pengertian itu, kita dapati bahwa “syajarah” berkaitan erat dengan “perubahan”.

Dalam perjalanan kehidupan, ternyata tak setiap manusia diberikan kemampuan untuk menangkap makna dan tujuan apa yang terjadi dalam setiap perubahan. Banyak yang melewati perubahan, tapi ia tak menangkap apapun yang terjadi, apalagi narasi besar makna perubahan yang tercipta. Berlalunya waktu, bagi orang-orang ini seakan biasa saja dan tak memperhatikannya dengan penuh ilmu, analisa dan hikmah yang ada.

Lapis demi lapis perubahan gerakan zakat

Gerakan zakat adalah gerakan dinamis yang tersusun diatas perubahan demi perubahan yang ada. Setiap perubahan yang terjadi dalam gerakan zakat adalah bagian integral sebuah “gerak” kehidupan dunia zakat dalam setiap fase yang dilewatinya. Oleh karena itu, untuk dapat menangkap pelajaran dari pesan-pesan sejarah dan dinamika gerakan zakat di Indonesia, diperlukan kemampuan menangkap yang tersirat dari gerakan zakat. Ini tiada lain karena digerakan zakat tak semuanya terlihat dan tersurat secara tekstual dan mewujud nyata.

Ini sebagaimana ibrah dalam sejarah seperti yang tersurat dalam Alquran Surat Yusuf (12):111 : "Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman".

Kalimat "laqad kana fi qashasihim ‘ibratun li ulil albab”, menjadi pesan amat penting untuk kita bahwa setiap bagian kisah yang kemudian akan berlalu senantiasa memiliki makna untuk dijadikan pelajaran. Sesungguhnya dalam sejarah itu juga kadang terdapat pesan-pesan yang kadang penuh perlambang, dan butuh kecerdasan dan ilmu serta pemahaman agar bisa memahami setiap bagian-bagiannya yang ada. 

Ketika kita melihat gerakan zakat dalam perspektif sejarah sebagai pendekatan dalam menelaahnya, kita bisa menemukan narasi gerakan dalam rentang periode hari kemarin (masa lalu), hari ini, dan hari esok (masa depan). Dalam cara pandang ini pula sesungguhnya kita dapat menemukan keyakinan bahwa masih ada secercah harapan akan masa depan gerakan zakat Indonesia.

Gerakan zakat masih bisa mencari jalan tengah untuk tetap hidup dan mengabdi pada gerakan kebaikan yang akan menjadi solusi untuk umat dan bangsa. Meminjam istilah yang dipopulerkan Alvin Toffler yang menyebut adanya “gelombang ketiga” peradaban. Maka di gerakan zakatpun sejatinya dalam situasi dan lansekap yang berbeda terdapat pula  "gelombang ketiga" yang formulasinya berangkat dari proses sejarah panjang sebagai suatu kontinum peristiwa yang bergerak melintasi waktu.

Pergerakan ini sendiri tentu saja berbingkai berbagai peristiwa sosial politik dan budaya, yang terangkum dalam sejarah panjang perjalanan bangsa yang terus bergerak melintasi waktu dari masa lalu, masa kini, hingga masa depan. "Gelombang ketiga" yang dimaksudpun merupakan resultan dari berbagai faktor yang mempengaruhinya, baik yang muncul dari dalam gerakan zakat maupun yang berasal luar gerakan zakat Indonesia.

Alfin Toffler membagi-bagi peradaban dalam istilah gelombang. Ia kemudian juga menamakan adanya "gelombang ketiga". Dalam konteks gerakan zakat Indonesia kali ini, kita juga akan menggunakan istilah "gelombang ketiga" dalam gerakan zakat. Istilah ini sebenarnya untuk memudahkan cara pandang kita dalam melihat kompleksitas situasi dalam pergulatan gerakan zakat yang cukup panjang di Indonesia.

Istilah ini di masa depan kiranya perlu juga dibedah kebenarannya, apalagi mungkin agak rancu dengan definisi "gelombang ketiga demokrasi". Sebagai sebuah inisiasi awal untuk memulai tradisi memperkaya literasi gerakan zakat Indonesia. Kiranya untuk kali ini anggap saja tulisan ini adalah pemantik lahirnya tradisi literasi yang lebih serius, ilmiah dan berbobot akademis.

Kembali ke soal periodesasi alias gelombang dalam gerakan zakat Indonesia. Karena belum adanya dasar dan landasan yang kuat, apalagi kemudian menjadi kesepakatan di internal gerakan zakat Indonesia, maka dengan ini kita akan coba bedah ketiga gelombang tadi. Gelombang pertama adalah periode sebelum lahirnya UU Zakat. Kemudian gelombang kedua adalah setelah UU zakat lahir hingga hari ini dan gelombang ketiga gerakan zakat adalah ketika Zakat menjadi instrumen penting bagi negara, baik dianggap sebagai sumber biaya pembangunan bangsa, sumber peningkatan kesejahteraan sekaligus sumber pengurang kemiskinan yang ada.

Gelombang pertama

Zakat sebagai bagian langsung ibadah yang juga termasuk rukun Islam telah melekat pada diri seorang mukmin dimanapun di dunia. Termasuk ketika seiring waktu, Islam sampai ke Bumi nusantara lewat tangan-tangan para da'i yang singgah ataupun sengaja berdakwah ke negeri-negeri yang jauh dari tempat lahirnya Islam di Timur Tengah. Para pendakwah telah mengajarkan satu kesatuan ajaran zakat, juga tentu dengan ajaran Islam lainnya secara integral.

Dan tersebab salah satunya karena daya dorong zakat pula, misi dakwah bisa terus diperluas hingga menembus jazirah-jazirah lain yang ada di Nusantara. Zakat dalam perkembangannya ketika itu berangsur menjadi satu sumber dana untuk kepentingan pengembangan agama islam.

Bahkan ketika Bangsa Indonesia masuk dalam fase "menuju kelahiran" sebagai sebuah negara bangsa yang merdeka, zakat juga menjadi solusi beratnya perjuangan mencapai kemerdekaan. Gerakan-gerakan melawan dan menentang penjajah yang disusul menjadi mempertahankan kemerdekaan bangsa yang dilakukan para ulama dan santri di seluruh bumi Nusantara tak lepas pula dari dukungan dana zakat, infak dan sedekah dari penduduk muslim negeri ini.

'Jasmerah', istilah Soekarno, Presiden RI pertama untuk menyebut "jangan lupakan sejarah". Benar, sejarah telah mencatat dengan tinta emas, bagaimana setelah tiga tahun merdeka, tepatnya Juni 1948, sebagai Presiden RI ketika itu, Soekarno mendapat sumbangan luar biasa dari rakyat Aceh. Sumbangan yang dilahirkan dari kecintaan muslim Aceh yang dengan penuh keikhlasan memberikan perhiasan, emas, dan segala barang berharganya untuk disumbangkan bagi negeri yang baru berdiri ini.

Sumbangan tanpa pamrih yang dalam dua hari masa pengunpulan tercatat bisa menghasilkan dana setara 20 kilogram emas ketika itu. Sumbangan inilah yang akhirnya mampu mengangkat derajat negara baru yang bernama Indonesia untuk membeli dan memiliki satu-satunya pesawat milik negeri Indonesia. Pesawat ini tak lain bwrwujud Pesawat Dakota yang diberi kode RI-001 Seulawah. Pesawat ini adalah pesawat angkut pertama Indonesia yang sangat berjasa dalam mewujudkan kemerdekaan negeri ini.

Ini sekali lagi bukti sejarah yang tak bisa dibantah, wujud kecintaan dan sikap patriotisme rakyat Aceh terhadap Republik Indonesia. Atas dana ini sebuah pesawat mengudara di negeri yang baru merdeka. Pesawat ini juga amat strategis maknanya, karena dengan kehadirannya langit Nusantara mulai dijaga dan juga era baru dimulainya sebuah langkah memperkuat pertahanan negara dan hubungan antar pulau, menembus blokade Belanda yang mulai menguasai sebagian besar nusantara akibat agresi militer ke II Belanda. Dan tak berhenti di sana, dari dana sumbangan warga Aceh ini pula akhirnya lahir cikal bakal perusahaan penerbangan niaga pertama di bumi Nusantara, yakni Indonesian Airways, yang saat ini kita kenal dengan Garuda Indonesia.

Kini, dibalik kebanggaan kita terhadap perusahaan Garuda Indonesia terkini yang masuk 10 besar maskapai Top dunia, mengalahkan ratusan maskapai-maskapai yang ada, semoga kita tidak lupa bahwa Garuda Indoesia lahir dari dana sumbangan warga Aceh yang amat dalam cintanya pada negeri ini dan jelas kontribusinya bagi pembangunan bangsa. Garuda Indonesia yang dulunya hanya punya satu pesawat kini  telah berdiri sejajar bersama 10 besar maskapai top dunia seperti Qatar Airways, Singapore Airlines, ANA All Nipon Airways, dan Emirates, Cathay Pacific, Eva Air, Lufthansa, Etihad, dan Hainan Airlines.

Di gelombang pertama gerakan zakat, terutama ketika fase awal kemerdekaan, zakat sebenarnya telah pula diperhitungkan urgensinya. Zakat juga dibicarakan dalam berbagai forum ekonomi yang menyandingkan para ekonom ketika itu bersama sejumlah  ulama ahli fikih. Sebagai bukti zakat menginspirasi penyusunan dasar negara adalah adanya kalimat fakir miskin dalam UUD 1945.

Dalam sejumlah pembahasan dalam menyusun undang-undang ketika itu, kata fakir miskin tak bisa menemukan padanan lainnya sehingga ia menjadi satu kesatuan bagi tugas negara untuk melakukan proses dan pengelolaannya. Terlepas dalam implementasinya kemudian, nyatanya pasal 34 UUD 1945 menegaskan dengan sangat jelas bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara. Kata-kata fakir miskin yang dipergunakan dalam pasal tersebut jelas menunjukkan kepada mustahik zakat (golongan yang berhak menerima zakat).

Dalam perkembangannya, apapun kondisinya, perhatian pemerintah tak pernah lepas tangan dari urusan zakat ini. Salah satu peristiwa penting misalnya ketika tahun 1951 Kementerian Agama mengeluarkan Surat Edaran Nomor: A/VII/17367, tanggal 8 Desember 1951 tentang Pelaksanaan Zakat Fitrah. Kementerian Agama ketika itu merasa terpanggil untuk ikut melakukan pengawasan. Khususnya melakukan pengawasan supaya pemakaian dan pembagian hasil pungutan zakat fitrah dan zakat lainnya berlangsung menurut hukum agama.

Peristiwa lain yang penting kita catat juga adalah ketika Kementerian Agama mulai menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pelaksanaan Zakat dan Rencana Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (RPPPUU) tentang Pelaksanaan Pengumpulan dan Pembagian Zakat serta Pembentukan Baitul Mal pada tahun 1964. Namun sungguh disayangkan, kedua perangkat peraturan tersebut belum sempat diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun kepada Presiden.

Dalam perkembangan selanjutnya, perhatian Pemerintah terhadap pengelolaan zakat ini mulai meningkat sekitar tahun 1968. Ketika itu diterbitkanlah peraturan Menteri Agama Nomor 4 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat dan Nomor 5/1968 tentang pembentukan Baitul Mal (Balai Harta Kekayaan) di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kotamadya. Lagi-lagi, rupanya situasi ketika itu belum berpihak pada pengelolaan zakat.

Pada tahun yang sama Menteri Keuangan RI ketika itu menjawab putusan Menteri Agama dengan menyatakan bahwa peraturan mengenai Zakat tidak perlu dituangkan dalam Undang-undang. Kata Menteri Keuangan saat itu, aturan yang ada cukup dengan Peraturan Menteri Agama saja. Terkait respons yang muncul dari Menteri Keuangan, maka Menteri Agama kemudian menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Instruksi Nomor 1 Tahun 1968, yang isinya adalah penundaan pelaksanaan Peraturan Menteri Agama Nomor 4 dan Nomor 5 Tahun 1968 tadi.

Peristiwa demi peristiwa dalam urusan zakat ini terus terjadi, dan sampailah kondisi pengelolaan zakat di kurun ketika orde baru memulai kiprahnya. Satu peristiwa penting yang perlu dicatat di fase ini adalah adanya angin segar dari Presiden Soeharto ketika itu. Tepatnya ketika Presiden menganjurkan dimulainya untuk memeperhatikan dan mengelola urusan zakat ini. Presiden ketika itu berpidato di moment peringatan Isra’ Mi’raj di Istana Negara tanggal 22 Oktober 1968. Setelah munculnya anjuran inilah maka dibentuklah Badan Amil Zakat Infaq dan Shadaqah (BAZIS) yang dipelopori oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta.

Dan sejak waktu itulah kemudian secara beruntun lahir badan amil zakat di berbagai wilayah dan daerah seperti di Kalimantan Timur (1972), Sumatra Barat (1973), Jawa Barat (1974), Aceh (1975), Sumatra Selatan dan Lampung (1975), Kalimantan Selatan (1977), dan Sulawesi Selatan dan Nusa tenggara Barat (1985). Memang setiap daerah ketika itu belum sama konsep dan cara mengelolanya. Namun setidaknya, arus baru pengelolaan zakat ini memunculkan optimisme dan harapan akan semakin pentingnya zakat dalam kehidupan masyarakat muslim ketika itu.

Dalam proses pengelolaan zakat zaman ini, masih sangat terbatas sifatnya. Beberapa propinsi yang sudah membentuk kepengurusan pun tak sama ketika di lapangan. Ada yang fokus di tingkat propinsi saja, ada pula yang mulai mencoba mengorganisir sampai tingkat kabupaten atau kota.

Pengelolaan ini pun masih lebih banyak diinisiasi oleh kantor Kementrian Agama masing-masing dan tergantung pula pada sosok dan kiprah para Kepala Kanwil masing-masing. Variasi pengelolaan memang akhirnya terjadi. Misalnya pengelolaan ketika itu yang ada di Jawa Barat ternyata hanya terjadi pengumpulan zakat fitrah saja. Di DKI Jakarta ketika itu justru sudah mulao melakukan pengumpulan zakat, ditambah dengan infaq dan sedekah.

Dinamika pengelolaan zakat terus terjadi. Era kuatnya pemerintah menentukan pengelolaan zakat sangat terasa ketika itu. Dan ini pula yang terjadi dalam catatan sejarah berikutnya, yakni ketika tahun 1984 Pemerintah, dalam hal ini Kementrian Agama mengeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 2 tahun 1984 tanggal 3 Maret 1984 tentang Infaq Seribu Rupiah selama bulan Ramadhan yang pelaksanaannya diatur dalam Keputusan Direktur Jendral Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor 19/1984 tanggal 30 April 1984.

Selanjutnya lahir pula instruksi lainnya yakni yang dikeluarkan pada tanggal 12 Desember 1989 yang berupa Instruksi Menteri Agama 16/1989 tentang Pembinaan Zakat, Infaq, dan Sedakah yang menugaskan semua jajaran Departemen Agama untuk membantu lembaga-lembaga keagamaan yang mengadakan pengelolaan zakat, infaq, dan sedekah agar menggunakan dana zakat untuk kegiatan pendidikan Islam dan lainnya.

Selanjutnya pada tahun 1991 dikeluarkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 dan 47 tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq, dan Sedekah yang kemudian ditindaklanjuti dengan Instruksi Menteri Agama Nomor 5 tahun 1991 tentang Pedoman Pembinaan Teknis Badan Amil Zakat, Infaq, dan Sedekah dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 7 tahun 1988 tentang Pembinaan Umum Badan Amil Zakat, Infaq, dan Sedekah.

Moment reformasi yang menandai lahirnya kebebasan dan terbitnya harapan baru akan munculnya tatanan kehidupan yang lebih baik menjadi angin segar banyak kalangan, termasuk umat Islam Indonesia. Dan situasi yang bermuara pada perubahan politik ini melahirkan pula Kabinet Reformasi yang dianggap sebagian kalangan memberikan peluang bagi umat untuk hidup dengan lebih baik.

Harapan ini muncul pula di kalangan pegiat zakat, sehingga yang pada awalnya di moment sebelum reformasi hanya ada Bazis dan beberapa LAZ yang telah dilahirkan oleh kalangan perbankan yang muslim seperti Bamuis BNI. Kita tahu bahwa di tengah pekerja muslim yang ada di Bank BNI ketika itu, muncul keinginan kuat untuk mengelola zakat, infak dan sedekah dari karyawan muslim BNI.

Dan keinginan tersebut kemudian bermuara pada lahirnya Yayasan Baitul Mal Umat Islam Bank Negara Indonesia (Bamuis BNI) yang mulai didirikan sejak 5 Oktober 1967. Dalam perkembangannya, Bamuis BNI ini ternyata mampu juga menghimpun dana zakat dari kalangan masyarakat. Yayasan ini didirikan oleh tokoh-tokoh terkemuka di Indonesia yang salah satu konseptornya adalah Buya Hamka.

Sebelum era reformasi memang tak banyak lembaga pengelola zakat yang sungguh-sungguh dikelola dengan baik. Selain Bamuis BNI, ketika itu baru ada YDSF di Surabaya dan Dompet Dhuafa di Jakarta. YDSF yang berdiri dengan berbasis jama'ah Masjid Al Falah di Surabaya lahir tahun 1989, sedangkan Dompet Dhuafa yang ketika itu masih lekat dengan Republika berdiri tahun 1993.

Kelahiran rumah bersama gerakan zakat di gelombang pertama

Di gelombang pertama gerakan zakat Indonesia, situasinya mulai dinamis. Kemunculan para pengelola zakat dari unsur masyarakat yang memulai dengan manajemen profesional dalam mengelola zakat semakin banyak. Tepat pada 2 Juli 1998 terbentuklah organisasi bernama Dompet Sosial Ummul Quro (DSUQ) yang nantinya berkembang menjadi Rumah Zakat. Muncul pula PKPU yang lahir pada tanggal 10 Desember 1999. DSUQ lahir di Bandung ketika itu, sedangkan PKPU lahir di Jakarta.

Di luar lembaga-lembaga di atas, sejatinya masih banyak lembaga lain yang mulai menginisiasi kelahirannya dan secara serius bertekad mengelola zakat, infak dan sedekah. Saat yang sama sebenarnya, sejumlah ormas Islam, masjid dan pesantren pun terus berbenah dalam mengelol zakat di Indonesia. Ketika fase ini, sejumlah pihak belum berpikir besarnya potensi zakat yang besar dan belum tergali optimal. Yang sebagian terpikir ketika itu adalah bagaimana bisa sebanyak-banyaknya membantu orang lain, terutama para dhuafa yang memang sangat membutuhkan uluran tangan dermawan lewat lembaga-lembaga zakat yang ada.

Dunia zakat dan gerakannya kian dinamis dan mulai terasa bergairah.  Apalagi dengan masuknya anak-anak muda aktivis kampus ke gerakan zakat. Mereka yang sejak di kampus penuh idealisme dan didukung vitalitas yang prima, melahirkan spirit baru gerakan zakat Indonesia.

Perlahan cara-cara baru pengelolaan zakat yang semakin profesional dan penuh dedikasi diberlakukan pada pengelolaan zakat di sejumlah organisasi pengelola zakat. Sejumlah survey pasar, potensi dan rencana pengembangan terus dilakukan dengan penuh perhitungan dan didukung analisis yang semakin tajam dan akurat.  Termasuk perhatian terhadap potensi zakat pun terus digali dan ditemukan.

Dengan kehadiran lembaga-lembaga pengelola zakat yang profesional tentu saja berpengaruh pada kemajuan gerakan zakat Indonesia. Saat yang sama, semakin banyaknya lembaga amil zakat yang profesional di tengah masyarakat, yang beroperasi secara profesional tentu saja akan semakin memperbaiki pengelolaan zakat di Indonesia.

Sejumlah pekerjaan rumah gerakan zakat semakin tak mudah. Sejumlah perbaikan demi perbaikan terus dilakukan, termasuk meyakinkan secara kolektif bahwa dana yang dipercayakan kepada lembaga zakat ini akan dikelola secara amanah dan transparan. Saat yang sama juga dana tersebut benar untuk penyelesaian masalah mustahik serta jadi solusi bagi persoalan keumatan.

Di moment gelombang pertama ini pula muncul dan lahir Forum Zakat. Sebuah wadah yang mendesikasikan sebagai rumah bersama gerakan zakat Indonesia. Forum Zakat atau disingkat FOZ adalah asosiasi lembaga pengelola Zakat yang berfungsi sebagai wadah berhimpunnya Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) di seluruh Indonesia.

Lembaga ini didirikan pada Jumat,19 September 1997 oleh 11 lembaga yang terdiri Dompet Dhuafa Republika, Bazis DKI Jakarta, Baitul Mal Pupuk Kujang, Baitul Mal Pupuk Kaltim, Baitul Mal Pertamina, Telkom Jakarta, Bapekis Bank Bumi Daya, Lembaga Keuangan Syariah Bank Muamalat Indonesia, PT Internusa Hasta Buana dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIE) Jakarta.

Pada awal berdirinya, Forum Zakat berbentuk yayasan, namun sejak Musyawarah Kerja Nasional I (Mukernas I) tanggal 7-9 Januari 1999, status yayasan tersebut diubah menjadi asosiasi dengan Ketua Umumnya Drs Eri Sudewo dari Dompet Dhuafa Republika.

Perubahan badan hukum dari Yayasan menjadi Asosiasi, kemudian dicatatkan di notaris sebagai Perkumpulan. Badan hukum perkumpulan inilah yang sampai sekarang dimiliki oleh Forum Zakat, dan sudah dicatatkan di lembaran negara. Melalui FOZ ini aspirasi dalam perjuangan penyadaran zakat dilakukan secara lebih terorganisir.

FOZ terus eksis hingga kini, dalam waktu dekat asosiasi ini akan melaksanakan munas-nya yang kedelapan di awal Pebruari nanti di Lombok, NTB. FOZ bukan sekedar tempat para aktivis zakat berkumpul, ia juga punya misi luhur yang berbunyi: "Menjadi asosiasi Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) yang amanah dan profesional guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat".

FOZ juga memilki lima misi dalam organisasinya yaitu : Pertama, mengarahkan organisasi pengelola zakat sehingga mencapai optimalisasi mobilisasi dan sinergi zakat untuk mencapai positioning zakat di Indonesia yang menyejahterakan. Kedua, melakukan capacity building terhadap OPZ agar memenuhi standar manajemen mutu pengelola zakat baik tingkat nasional, maupun internasional.

Ketiga, menjadi fasilitator OPZ di dalam menjalankan fungsinya; Keempat, melakukan advokasi dalam rangka memperkuat OPZ dan mewujudkan cita ideal zakat di Indonesia, dan kelima, melakukan standardisasi dan akreditasi terhadap OPZ sehingga sesuai dengan standar manajemen mutu pengelola zakat.

Dan sejak awal misi ini pun bukan omong kosong. Buktinya hanya para anggota FOZ yang didorong FOZ untuk berani maju ke depan ketika ada hal yang harus diluruskan. Hal yang perlu dikoreksi ini besar dampaknya terhadap gerakan zakat Indonesia, yakni ketika nanti muncul dan akan digunakannya UU Pengelolaan Zakat No. 23 Tahun 2011.

Ketika di medio Pebruari 2012, tepatnya momentum lembaga-lembaga zakat mengajukan gugatan ke MK inilah terlihat betapa asosiasi lembaga zakat ini diperlukan benar kehadiran dan pembelaannya bagi gerakan zakat. Tercatat ketika itu ada sejumlah 25 Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Zakat (KOMAZ).

KOMAZ ketika itu berdiri menggugat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Zakat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai UU ini tidak mencerminkan keadilan. Sebab, menurut KOMAZ saat itu, negara menyerahkan pengelolaan zakat kepada Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), salah satu badan yang belum mendapat kepercayaan masyarakat.

Sejumlah dasar pemikiran yang muncul ketika itu juga berangkat dari cara pandang anggota KOMAZ yang mengatakan bahwa Baznas ketika itu mengumpulkan dana zakat rata-rata Rp 30 miliar per tahun. Sementara itu, LAZ swasta mencapai ratusan miliar rupiah. Dengan kondisi tadi, masih menurut cara pandang KOMAZ, tidak masalah zakat dikelola negara, namun yang menjadi permasalahan saat ini, masyarakat belum bisa percaya penuh pada Negara. Kini semua telah berlalu, walaupun begitu, ternyata cara pandang untuk melakukan revisi UU Pengelolaan Zakat tak hilang seiring bergulirnya waktu. (Bersambung...)

Ditulis dalam perjalanan dari Yogyakarta-Balikpapan-Jakarta, 2-3 Januari 2018

*) Direktur Pendayagunaan IZI & Ketua 1 FOZ Nasional

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement