Kamis 04 Jan 2018 02:12 WIB

Polri Minta Penganggaran Seperti KPK, Ini Kata Ombudsman

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Andri Saubani
Kapolri Jenderal Tito Karnavian menemui Komisioner Ombudsman Republik Indonesia Amzulian Rifai di Markas Besar Polri, Jakarta, Rabu (3/1).
Foto: Republika/Arif Satrio Nugroho
Kapolri Jenderal Tito Karnavian menemui Komisioner Ombudsman Republik Indonesia Amzulian Rifai di Markas Besar Polri, Jakarta, Rabu (3/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Adrianus Meliala menyatakan, sistem pendanaan penanganan kasus at cost yang diharapkan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Polisi Tito Karnavian tidak menjamin kerja reserse menjadi optimal. Pasalnya, kerja reserse tidak hanya ditentukan pada skema pendanaan semata.

Adrianus mengkritisi sikap Kapolri yang seolah menitikberatkan terhambat dan lambannya penanganan kasus pada sistem penganggaran. "Karena masalahnya bukan duit, pak Kapolri seakan mereduksi ini semata soal duit, bukan. Dalam hal ini saya tidak sepakat dengan Kapolri," kata Adrianus pada Republika, Rabu (3/1).

Saat ini, pola penganggaran kasus Polri menggunakan skala kasus, yakni terbagi menjadi kasus ringan, sedang, sulit dan sangat sulit dengan golongan pembiayaan sesuai kategori tersebut. Semakin sulit, maka pembiayaan semakin besar. Namun, Tito menginkan pembiayaan dengan sistem at cost. Sistem at cost atau biaya riil adalah biaya yang dikeluarkan sesuai dengan bukti pengeluaran yang sah, jadi penyidik tidak terbatas biaya berdasarkan golongan. Sistem ini diterapkan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menurut Adrianus, terdapat beberapa hal yang juga menjadi komponen utama dalam memaksimalkan kinerja reserse dalam menuntaskan kasus. Adrianus menyoroti perlunya atensi, manajemen overload kasus, serta kemampuan sumber daya reserse, bukan hanya soal penganggaran. "Artinya, fifty-fifty lah, 50 persen bukan soal duit, 50 persen soal duit," ujarnya.

Dalam hal mananjemen kasus, Adrianus mencontohkan, terdapat penyidik yang overload, terbebani hingga sepuluh kasus. Padahal, untuk bekerja optimal, seorang penyidik menangani tiga atau empat kasus saja. "Gila tuh," kata Adrianus.

Baca, Tito Ingin Penganggaran Penanganan Kasus Polri Seperti KPK.

Kemudian, dalam hal manajemen atensi kasus juga perlu ditingkatkan. Dalam hal ini, urutan kasus maupun intensitas kepentingan suatu kasus juga harus diperhatikan. Sehingga, tidak ada kasus yang tertinggal dan tidak tersentuh sama sekali.

Kemudian, hal yang cukup vital adalah kemampuan sumber daya manusia, dalam hal ini kemampuan penyidik. Tidak semua penyidik mempunyai basis reserse yang homogen atau sama, sehingga perlu diatur penyidik mana yang sesuai untuk menangani kasus tertentu. "Soal dukungan forensik, misalnya hasil forensik tidak keluar, kemudian dia (penyidik) bingung. Ini bukan soal duit sih," kata Adrianus.

Terbengkalainya penanganan kasus, dalam pandangan Adrianus adalah lebih karena aspek-aspek tersebut kurang dimanajerialisasi. Hal ini kerap terjadi khususnya di kasus ringan dan sedang.

"Manajemen overload, pembagian kerja, atensi pimpinan, manajeman sdm dan atensi pimpinan dan intervensi politik. Hal ini yang bisa menyebabkan penegakan hukum jadi lama, bukan soal duit saja," ucap dia.

Kendati demikian, diakui juga sistem at cost juga dapat memacu penanganan kasus dengan sudut pandang tertentu. Dalam hal ini, menurut mantan Komisioner Komisi Kepolisian Nasional ini, sistem at cost dapat diterapkan. "At cost bisa untuk kategori kasus sulit dan sangat sulit. untuk sedang dan sederhana bisa gunakan parameter kasus atau penanganan saja," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement