REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Perhimpunan Indonesia Tionghoa (Inti) menggandeng Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah membuat rumusan bersama untuk memecahkan persoalan ketimpangan masyarakat di Indonesia. Sejumlah tokoh agama dari NU dan Muhammadiyah yang terlibat dalam pertemuan yang berlangsung di Yogyakarta, Rabu (3/1), secara tertutup itu di antaranya mantan ketua Umum PP Muhammadiyah Buya Syafii Maarif, Ketua PBNU KH. Imam Aziz, serta Koordinator Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid.
Syafii Maarif seusai pertemuan menyatakan, untuk mengatasi kemiskinan, bangsa Indonesia memang perlu belajar dengan komunitas Tionghoa. Khususnya mengenai bagaimana mengembangkan bisnis dan mengelola keuangan. "Sayangnya kita tidak mau belajar bagaimana mereka (masyarakat Tionghoa) 'menjinakkan' uang. Kita perlu belajar pada mereka," ujarnya, Rabu.
Adapun, Alissa Wahid menilai persoalan ketimpangan dan kemiskinan memang perlu segera dipecahkan karena tingkat kesenjangan masyarakat Indonesia pada 2016 telah menempati urutan terburuk ketiga dunia setelah Thailand dan Rusia. "Di sisi lain Indonesia akan segera memasuki era pasar bebas di mana Indonesia dipandang sebagai pasar yang cukup potensial. Masalahnya kita sendiri masih kurang mempersiapkan diri," tuturnya.
Alissa menyebutkan, ada sejumlah program yang disepakati bersama untuk mengatasi kesenjangan dalam pertemuan yang digagas Inti tersebut. Di antaranya, program pembangunan kewirausahaan di kalangan santri, pembangunan akses pasar pengusaha NU dan Muhammadiyah, pelatihan perencanaan keuangan.
Selain itu, disepakati pula program pertukaran penyemai moderatisme ke negara-negara lain termasuk Cina, pelatihan kepemimpinan pemuda lintas iman, Program Beasiswa Pelangi untuk siswa SMA/MA/SMK sederajat, serta pelatihan penguasaan Bahasa Mandarin untuk santri.
"Kami ingin bersama-sama Muhammadiyah dan NU memerangi musuh bersama yang sesungguhnya yakni kesenjangan dan kemiskinan," kata Wakil ketua umum Perhimpunan Indonesia Tionghoa (Inti) Budi S Tanuwibowo.
Menurut Budi, persoalan ketimpangan dan kemiskinan tidak terkait dengan urusan etnis maupun agama. Hal itu merupakan masalah yang perlu diselesaikan bersama-sama oleh seluruh elemen bangsa Indonesia.
Selain kemiskinan dan kesenjangan, persoalan mendasar yang perlu segera dipecahkan bersama adalah kebodohan. Pasalnya, selama masih ada kebodohan, masyarakat tetap mudah diadu domba. "Sehingga musuh sejati kita yang sesungguhnya bukan saudara kita sendiri, tetapi kemiskinan dan kebodohan," kata dia.