REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pertemuan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah memang menjadi agenda penting yang menutup tahun 2017. Pertemuan itu memetakan langkah-langkah dukungan untuk Yerusalem, Rohingya dan Marawi.
Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi mengatakan, pertemuan itu merupakan satu mekanisme silaturahim yang reguler. Pertemuan tidak lain senantiasa dilakukan dalam rangka meminta masukan-masukan untuk kebijakan politik luar negeri.
Ia menuturkan, kerja sama Kemenlu dan Muhammadiyah sudah lama, termasuk untuk beberapa isu yang baru-baru ini terjadi misalnya saat terjadi krisis kemanusiaan di Rakhine State. Maka itu, Retno menekankan, kerja sama itu akan terus dijalankan.
"Muhammadiyah sudah banyak sekali membantu dalam pemberian bantuan kemanusiaan untuk Rakhine State, sampai sekarang kegiatan kemanusiaan terus dilakukan tidak cuma di Myanmar tapi juga Bangladesh," kata Retno, Jum'at (30/12) lalu.
Selain itu, lanjut Retno, pertemuan Kemenlu dan Muhammadiyah membahas kerja sama-kerja sama dalam bidang pendidikan. Di antaranya yang akan diimplementasikan di Filipina Selatan usai pembebasan Marawi.
Retno menekankan, ada kepentingan Indonesia memajukan kerja sama di bidang pendidikan, yang sudah dibahas dengan pihak Filipina. Mengingat Muhammadiyah sudah memiliki kerja sama, akan dibahas lebih lanjut kolaborasi Kemenlu dengan Muhammadiyah nantinya.
"Antara lain pertukaran guru pengajar, pertukaran siswa, karena kita juga miliki kapasitas untuk pemberian beasiswa, dan Muhammadiyah juga memiliki banyak sekali institusi bidang di pendidikan yang bisa kita kolaborasikan," ujar Retno.
Pertemuan turut membahas dukungan-dukungan untuk Yerusalem, yang belakangan secara mengajutkan disetujui Presiden AS Donald Trump sebagai Ibu Kota Israel. Walau memahami jalan terjal yang akan ditempuh, Retno menegaskan, komitmen Indonesia untuk Palestina.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir mengingatkan, Indonesia akan berada dalam pertaruhan yang membawa bara politik baru yang sebenarnya tidak dikehendaki. Oleh karenanya, ia menegaskan dukungan Indonesia bukan sekadar untuk Palestina, tapi untuk tatanan dunia baru.
"Tatanan dunia baru yang memerlukan perdamaian, hak asasi manusia secara universal, dan tegaknya demokratisasi dunia, dan Indonesia mempelopori itu," kata Haedar.