REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Pengujung 2017 ini, sebuah lembaga nirlaba yang berbasis di Kota Padang yakni Nurani Perempuan Womens Crisis Center (NPWCC) merilis sejumlah catatan kilas balik tentang penanganan kasus kekerasan terhadpa perempuan. Hasilnya, Sumatra Barat belum terbebas dari catatan kelam tentang pemerkosaan, kehamilan tak diinginkan, perkawinan anak, hingga aborsi paksa.
Tahun ini, Nurani Perempuan menangani 110 orang perempuan dan anak perempuan korban kekerasan dengan 132 kasus kekerasan yang mereka alami. Angka ini naik dari tahun 2016, di mana sebanyak 109 kasus kekerasan dilaporkan. Rinciannya, 39 kasus pemerkosaan, 12 kasus pelecehan seksual, dua kasus eksploitasi seksual, tiga kasus indikasi pemerkosaan, 11 kasus kehamilan tak diinginkan, dua kasus aborsi paksa, dan tiga kasus perkawinan anak secara paksa.
Dilihat dari tingkat pendidikan korban, kasus kekerasan seksual paling banyak menimpa korban di bangku pendidikan SMA dengan 30 kasus, SD dengan 24 kasus, dan SMP sebanyak 16 kasus. Sejumlah kasus bahkan menunjukkan tindak kekerasan lebih dari satu jenis terhadap satu orang perempuan. Misalnya, korban T yang pelajar diperkosa oleh satu orang yang masih memiliki relasi keluarga. Korban T kemudian hamil dan dipaksa aborsi.
Direktur Nurani Perempuan Womens Crisis Center Yefri Heriani mengungkapkan, kasus kekerasan seksual yang dari tahun ke tahun semakin mengkhawatirkan. Menurutnya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan belum mendapat porsi yang pantas dari pemerintah.
Dia melanjutkan cara pandang yang dikembangkan dalam penanganan berbagai kasus menunjukkan minimnya keberpihakan terhadap korban. "Berbagai kasus kekerasaan seksual tetap saja dianggap sebagai kasus moralitas dan kesusilaan, yang akhirnya berdampak pada tindak reviktimisasi perempuan korban kekerasan seksual," jelas Uni Yef, panggilan akrab Yefri, di Padang, Sabtu (30/12).
Berdasarkan catatan sepanjang 2017, kasus kekerasan seksual yang paling tinggi dilaporkan adalah pemerkosaan sebanyak 39 kasus. Dari angka tersebut, 28 persen dari kasus tindak pemerkosaan yang dilaporkan mengakibatkan kehamilan yang tak diinginkan.
Padahal, kasus kehamilan yang tak diinginkan untuk tiga tahun sebelum ini tidak pernah dilaporkan. Kondisi ini, menurut Uni Yef, akhirnya mengakibatkan aborsi yang dipaksakan, kematian bayi dan atau pernikahan usia anak. "Tiga serangkai ini menjadi catatan penting dalam penanganan kasus sepanjang 2017," ujarnya.
Menurut Yefri, lemahnya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan diperparah dengan buruknya penegakan hukum untuk memastikan terpenuhinya hak-hak perempuan korban dalam mendapatkan perlindungan, keadilan, apalagi pemulihan. Yefri memandang negara masih abai dalam memenuhi hak korban, dengan tidak menyediakan sistem layanan yang komprehensif serta tenaga profesional yang memiliki perspektif baik dalam penanganan korban.
Yefri juga berpendapat bahwa Peraturan Presiden nomor 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi yang diharapkan dapat memberikan layanan yang baik bagi perempuan korban, justru belum benar-benar dilaksanakan. Akibatnya, harapan yang besar terhadap layanan kesehatan reproduksi yang berkualitas bagi perempuan korban perkosaan masih jauh dari yang dicita-citakan.
Catatan Nurani Perempuan, 54,5 persen kasus yang ditangani sepanjang 2017 tergolong dalam kekerasan seksual. Dari angka tersebut, hanya 20 persen kasus yang maju ke proses hukum hingga pengadilan.
Meski angka ini lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya, Yefri menilai, hal tersebut tidak menunjukan suatu kemajuan. Alasannya, beberapa laporan kasus kekerasan seksual masih ditolak oleh aparat penegak hukum, dengan alasan korbannya bukan lagi anak-anak dan tidak adanya bukti yang mendukung.
"Negara harus memastikan hadirnya sebuah kebijakan yang melindung perempuan korban kekerasan seksual. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus segera dibahas dan disahkan," katanya.
Catatan lain tentang kasus kekerasan seksual di Sumbar, pelakunya kebanyakan adalah orang-orang yang dikenal korban. Data menunjukkan, 14 pelaku merupakan tetangga korban, 10 pelaku adalah pacar korban, delapan pelaku oknum aparat, enam pelaku ayah kandung korban, lima pelaku penjaga keamanan, dua pelaku teman korban, dan dua pelaku hasil berkenalan di Facebook.
Tak hanya itu, satu pelaku masing-masing juga merupakan kakak kandung, paman, guru, pelatih, dukun, dan mantan pacar korban. Sisanya, 10 pelaku tidak dikenal korban. "Beberapa orang korban kekerasan seksual, pelakunya tidak hanya satu orang," ujar Yefri.
Poin lainnya, Yefri juga mengingatkan, pernikahan anak membutuhkan perlindungan yang konkrit. Alasannya, hingga saat ini dalam UU Perkawinan no 1 tahun 1974, masih menyatakan bahwa usia perkawinan perempuan adalah 16 tahun. "Baiknya untuk beberapa KUA hingga saat ini telah membuat terobosan usia pernihakan di atas 20 tahun," katanya.