Sabtu 30 Dec 2017 04:35 WIB

Out Of The Box: Peran Kaum Perempuan di Dinamika Kepemiluan

Perempuan mengantre untuk memberi suara dalam pemilu (Ilustrsi)
Foto: AP Photo/Ebrahim Noroozi
Perempuan mengantre untuk memberi suara dalam pemilu (Ilustrsi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Neni Nur Hayati *)

Dahulu kala, kaum perempuan kerap kali dianggap sebagai kaum ”marjinal” atau kaum yang terpinggirkan. Dan bahkan dianggap tidak mumpuni untuk terlibat dalam kontestasi politik menjadi penyelenggara pemilu, partai politik, dan kandidat. Hal ini disebabkan fitrah perempuan yang hanya berhak mengurus dan berada di dalam rumah.

Suatu hal yang dilematis saat perempuan memilih untuk turut serta aktif di dunia publik. Satu sisi, perempuan dituntut untuk memasuki dan mengisi sektor publik, tapi disisi lain juga muncul tuntutan untuk tetap bisa mengurus persoalan domestik. Sehingga faktanya, perempuan mau tidak mau harus melaksanakan peran ganda.

Sejak konsep gender berkembang, peran perempuan mulai mengalami pembaharuan. Ada secercah harapan bagi perempuan untuk memasuki sektor publik baik sektor ekonomi, social, pendidikan, budaya juga politik. Di bidang pendidikan misalnya, perempuan telah mengalami peningkatan akses pendidikan yang setara dengan laki-laki.

Posisi-posisi penting baik di pemerintahan maupun non pemerintahan kini cukup banyak dijalankan oleh perempuan. Termasuk pada bidang politik, yang seringkali disebut sebagai dunia laki-laki, aspirasi perempuan juga telah mendapat tempat dan mampu mewarnai walaupun belum memenuhi harapan.

Pentingnya peningkatan partisipasi perempuan dalam pemilu

Partisipasi perempuan dalam dunia kepemiluan merupakan hal yang penting untuk perkembangan dan kemajuan demokrasi di Indonesia.  Akan tetapi, di negara berkembang seperti Indonesia, persoalan partisipasi kaum perempuan menjadi hal yang sangat kompleks. Ada persoalan mendasar yang dialami oleh kaum perempuan adalah kuatnya ketidakadilan gender dalam struktur dan budaya masyarakat Indonesia yang menempatkan kaum perempuan itu lemah. Ini adalah fakta yang tidak dapat dipungkiri.

Sejarah perjuangan kaum wanita mencatat, RA Kartini misalnya, adalah salah satu tokoh perempuan pelopor emansipasi perempuan dan sosok pejuang tangguh yang telah memperjuangkan kebebasan perempuan didunia pendidikan. Selain RA Kartini, ada Maria Walanda Maramis adalah perempuan kelahiran Sulawesi Utara merupakan sosok yang dianggap sebagai pendobrak adat, pejuang kemajuan dan emansipasi perempuan di dunia politik dan pendidikan.

Dalam pencatatannya, Maria ditahbiskan sebagai salah satu perempuan teladan Minahasa yang memiliki bakat istimewa untuk menangkap mengenai apapun juga dan untuk memperkembangkan daya pikirnya, bersifat mudah menampung pengetahuan sehingga lebih sering maju daripada kaum lelaki. Dalam kacamata demokrasi beberapa tokoh yang telah disebutkan, menjadi inspirasi kaum perempuan masa kini, untuk mampu berkiprah dengan berperan aktif, menempatkan diri dan bersaing dengan laki-laki.

Melaui peran gandanya, selain memiliki tanggung jawab di dalam rumah sebagai ibu juga di luar rumah sebagai wanita karier. Seperti apa yang disampaikan Suwondo (1981 : 266) bahwa perempuan sebagai warga negara dalam hubungannya dengan hak- hak dalam bidang sipil dan politik, juga sebagai ibu dalam keluarga dan istri dalam hubungan rumah tangga.

Undang-undang No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum mengamanatkan baik di wilayah Penyelenggara Pemilu, Partai Politik dan Kandidat untuk memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Lebih lanjut dijelaskan, dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu Pasal 6 ayat 5 disebutkan bahwa komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen. Ketentuan ini mengamanatkan bahwa harus ada keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen dalam keanggotaan KPU dan Bawaslu.

Tujuan utama kebijakan afirmasi adalah memberikan peluang terhadap perempuan agar sebagai kelompok marginal bisa terintegrasi dalam kehidupan publik secara adil. Keterlibatan perempuan sebagai penyelenggara pemilu akan memberikan manfaat diantaranya (1) Memastikan regulasi penyelenggara Pemilu dan penegakan hukum Pemilu tidak bias gender, (2) Memastikan tata kelola pemilu dapat mengakomodir kebutuhan perempuan untuk berpartisipasi pada keseluruhan tahapan pemilu, (3) Memastikan perempuan sebagai salah satu basis utama sosialisasi dan pendidikan pemilih sehingga mereka tidak menjadi korban atas pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh para calon kandidat seperti politik uang, politik identitas, manipulasi dan kekerasan.

Dampak dari penerapan affirmative action terhadap perempuan dalam politik dan Pemilu ternyata mampu meningkatkan keterwakilan perempuan walaupun belum terpenuhi secara maksimal. Eksistensi perempuan di lembaga eksekutif dari 7 presiden, Indonesia pernah dipimpin oleh seorang presiden perempuan, yakni presiden kelima, Megawati Soekarnoputri. Pada Pemilihan Serentak 2015 terpilih 35 perempuan. Keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2009 dan 2014 jumlahnya masih stagnan sebesar 18 persen.

 

Data Statistik menunjukkan ditingkat penyelenggara pemilu, Pada periode 2012-2017, di tingkat nasional, hanya ada satu perempuan dari tujuh anggota KPU dan hanya ada satu perempuan dari lima anggota Bawaslu. Sementara untuk tingkat provinsi, dari total 172 anggota, perempuan anggota KPU hanya 34 orang (20 persen) dan hanya ada 19 (19 persen) orang perempuan anggota Bawaslu dari total 102 anggota. Dalam proses seleksi calon anggota penyelenggara pemilu periode 2012 – 2017 tercatat 606 pendaftar KPU RI yang terdiri dari 495 laki-laki dan 111 perempuan (18,3 persen). Sementara dari 294 pendaftar Bawaslu RI, tercatat 252 laki-laki dan 42 perempuan (14,7persen).

Pada rekrutmen anggota penyelenggara pemilu periode 2017 – 2022 secara umum terjadi penurunan jumlah pendaftar yang cukup signifikan dibanding periode sebelumnya, yakni 37 persen. Total pendaftar KPU dan Bawaslu di tahun 2012 mencapai 900 orang, sementara untuk periode selanjutnya hanya terdapat 564 orang pendaftar. Untuk periode 2017 – 2022 tercatat 325 pendaftar KPU RI yang terdiri dari 230 laki-laki dan 95 perempuan (29,2 persen). Sementara pendaftar Bawaslu Republik Indonesia berjumlah 239 orang yang terdiri dari 176 laki-laki dan 63 perempuan (26,4 persen). Padahal jika kuota 30 persen perempuan di penyelenggara pemilu terpenuhi, ini membuktikan kemajuan dalam berdemokrasi. Untuk itu perlu ditingkatkan keterlibatan perempuan sebagai penyelenggara pemilu.

Bentuk upaya peningkatan peran perempuan dalam meningkatkan kualitas perlu adanya peran serta aktif dari berbagai komponen masyarakat, baik dari partai politik, pemerintah, organisasi kemasyarakatan dan kepemudaan, media, institusi pendidikan, lembaga keagamaan maupun lembaga penyelenggara pemilu itu sendiri. Optimalisasi pendidikan politik dan pendidikan pemilih adalah satu aktivitas yang bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan orientasi-orientasi politik pada setiap individu ataupun kelompok.

Proses pendidikan politik dilakukan agar masyarakat luas dapat menjadi warga negara  yang sadar dan menjunjung tinggi akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa, dan bernegara, serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender. Hal ini perlu ditekankan karena pada realitasnya, masih dirasakan adanya kesenjangan antara peranan yang dilakukan oleh kaum pria dan perempuan pada berbagai peran, utamanya pada peran-peran publik.

Selain itu, upaya pelatihan dan penguatan keterampilan politik, ini juga mempunyai arti yang penting dalam mewujudkan kualitas perempuan di penyelenggara pemilu. Menurut Titi Anggraeni (2017) sebagai bahan rekomendasi perlu adanya Pembentukan Forum Komunikasi Perempuan Penyelenggara Pemilu dan Kanal Pengaduan Ramah Perempuan karena ini dinilai efektif untuk menguatkan posisi kaum perempuan dan meningkatkan solidaritas terhadap sesama kaum perempuan.

*) Pelaksana Teknis Divisi Pencegahan dan Hubungan Antar Lembaga Panwaslu Kabupaten Tasikmalaya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement