Jumat 29 Dec 2017 20:40 WIB

Difteri: Dalam Pergulatan Science vs Pseudoscience

Seorang petugas kesehatan memberikan vaksin Difteri di PAUD Yasmin Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jember, Jawa Timur.
Foto: Antara
Seorang petugas kesehatan memberikan vaksin Difteri di PAUD Yasmin Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jember, Jawa Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dokter Spesialis Anak Konsultan dr Mururul Aisyi, SpA(K) dari Rumah Sakit Muhammadiyah Taman Puring Jakarta Selatan memaparkan mengenai difteri. Difteri menurutnya disebabkan penyakit akut dan sangat menular akibat infeksi bakteri Corynebacterium Diphteriae yang mengeluarkan toksin.

Penyakit yang pertama kali dilaporkan Hipocrates pada Abad ke-7 Sebelum Masehi (SM) itu dan menjadi wabah di Eropa dan AS di tahun 1900-an, kini melanda Indonesia. Hampir 714 kasus dengan tidak kurang dari 32 orang meninggal dunia akibat difteri di Indonesia.

Adanya resistensi terhadap program imunisasi dan berkembangnya gerakan antivaksin ditengarai menjadi salah satu sebabnya. Berkembangnya gerakan antivaksin salah satunya akibat pseudoscience. 

"Kemudahan mengakses informasi tidak serta merta membuat publik cerdas," ujar dokter Mururul seperti dalam siaran pers, Jumat (29/12).

Dokter Marurul mengatakan tampaknya masyarakat belum mempunyai kemampuan untuk memilah dan memilih mana informasi yang bersifat science dan mana yang pseudoscience. Pseudoscience adalah kumpulan kepercayaan dan praktik yang salah tanpa dilandasi suatu metode ilmiah. Sementara science didukung dan berdasarkan bukti-bukti ilmiah.

Pseudoscience bertahan dengan teori tanpa penelitian yang memadai. Ciri-ciri pseudoscience pada suatu artikel di antaranya too good to be true. Misalnya satu obat dikatakan bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit, based on ancient wisdom atau berdasarkan kepercayaan turun temurun. Lalu ada ciri yang disebut all-natural fallacy yakni pemahaman bahwa sesuatu yang alami selalu aman dan sintetis selalu buruk, suppressed miracle yaitu terori konspirasi dan It worked for me atau testimoni individual.

Dalam sebuah studi, sebagian besar responden menggunakan Whatsapp (89,8 persen), diikuti Facebook (58,6 persen), dan Twitter (42,3 persen) untuk mencari info kesehatan. Media sosial merupakan alat penting untuk informasi kesehatan namun boleh jadi menyediakan informasi yang tidak valid dan menyesatkan.

"Terlebih lagi, interpretasi pesan dalam media sosial dapat menjadi sulit, membingungkan, dan tidak sepenuhnya dapat dipahami. Hal ini dapat menyebabkan pengambilan keputusan medis tidak berdasarkan atas bukti ilmiah, yang pada gilirannya akan merugikan pasien sendiri. Dengan kata lain, program pencegahan dan pemberantasan difteri mustahil dilakukan tanpa regulasi informasi medis yang bersifat pseudoscience," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement