Kamis 28 Dec 2017 12:26 WIB

KPK tak Banyak Tanggapi Keberatan Setnov Terhadap BPKP

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Terdakwa kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto (tengah) memasuki ruangan untuk menjalani sidang dengan agenda tanggapan jaksa terhadap eksepsi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (28/12). Jaksa penuntut umum menyatakan tetap pada dakwaan semula.
Foto: ANTARA FOTO/Rosa Panggabean
Terdakwa kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto (tengah) memasuki ruangan untuk menjalani sidang dengan agenda tanggapan jaksa terhadap eksepsi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (28/12). Jaksa penuntut umum menyatakan tetap pada dakwaan semula.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tanggapan jaksa penuntut umum (JPU) KPK atas eksepsi terdakwa kasus korupsi proyek pengadaan KTP elektronik (KTP-El), Setya Novanto tak banyak menanggapi soal kewenangan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Padahal dalam eksepsi, tim kuasa hukum Novanto menyoal penghitungan keuangan negara dalam kasus KTP-el oleh BPKP.

"Kewenangan BPKP dalam menghitung kerugian negara, penuntut umum tak akan memberikan tanggapan secara panjang lebar, karena kewenangan BPKP untuk itu telah diatur secara tegas dalam Perpres Nomor 192 Tahun 2014," kata jaksa Wawan Yunarwanto saat membacakan tanggapan atas eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (28/12).

Jaksa Wawan menuturkan, yang tertuang dalam Pasal 3 hurub b Perpres sudah sejalan dengan putusan MK Nomor 3/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012, yakni KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPKP.

Diketahui, dalam Pasal 3 huruf b Perpres No 192 Tahun 2014, disebutkan kewenangan BPKP di antaranya audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara atau daerah, audit penghitungan kerugian keuangan negara atau daerah, dan pemberian keterangan ahli, serta upaya pencegahan korupsi.

"Berdasarkan uraian kami berpendapat bahwa surat dakwaan yang telah kami bacakan pada sidang 13 Desember telah memenuhi ketentuan pasal 143 ayat 2 KUHAP oleh karena itu keberatan penasihat hukum terdakwa yang disampaikan tanggal 22 Desember 2017 harua dinyatakan ditolak," kata jaksa Wawan.

Jaksa pun memohon majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara Setnov untuk memutuskan. Pertama, menolak keberatan eksepsi dari tim kuasa hukum terdakwa. Kedua, menyatakan bahwa surat dakwaan yang telah kami bacakan pada 13 Desember telah memenuhi syarat dalam KUHAP. "Ketiga, menetapkan untuk melanjutkan perkara ini berdasarkan surat dakwaan penuntut umum," tambah Wawan.

Menanggapi tanggapan dari JPU KPK, Ketua Majelis Hakin Yanto memutuskan akan mengambil putusan sela pada agenda sidang selanjutnya, yakni Kamis (4/1/2018). Hakim Yanto dalam kesempatan tersebut juga mengabulkan permintaan Novanto untuk memeriksakan kesehatan dan permohonan izin besuk seperti yang disampaikan saat pembacaan nota keberatan.

"Sebelum sidang ditutup, saya beri tahukan bahwa permohonan saudara untuk cek kesehatan pada hari Jumat dan juga permohonan izin besuk telah dikabulkan majelis, jadi nanti saudara atau penasehat hukumnya tinggal berhubungan dengan panitera. Demikian juga permohonan izin dari penuntut umum untuk bisa meminjam saudara yang akan diperiksa sebagai saksi juga telah kami kabulkan. Jadi nanti masing-masing bisa berhubungan dengan panitera kami," tutur Hakim Yanto.

Kuasa hukum Novanto, Maqdir Ismail kemudian menanggapi, "Dari kami cukup yg penting kami telah mendengar dari yang mulia tentang permohonan izin berobat karena dari waktu dan record yang kami berikan, mudah-mudahan jadi pertimbangan untuk pemeriksaan beliau yang berikutnya. Terima kasih."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement