Senin 25 Dec 2017 23:37 WIB

Paham Radikalisme Paling Mudah Masuk Lewat Dunia Pendidikan

Rep: Novita Intan/ Red: Karta Raharja Ucu
Situs yang menyerukan radikalisme. Ilustrasi
Foto: AP
Situs yang menyerukan radikalisme. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Maraknya paham radikalisme mulai memasuki dunia perguruan tinggi. Saat ini bisa dikatakan lembaga tersebut sebagai salah satu sasaran radikalisme dan ekstrisme.

Guru Besar Sejarah dan Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, mengatakan perguruan tinggi identik dengan kaum muda yang memiliki jiwa bergejolak. Sehingga, memberi peluang paham radikalisme bisa masuk dengan mudah.

"Kaum muda lebih rentan terkena gagasan radikalisme Islam khususnya departemen teknik, mahasiswa cenderung berpikiran Islam itu hitam putih. Lalu secara psikologis orang muda masih bergejolak artinya belum mapan, belum stabil," ujarnya kepada Republika.co.id di Jakarta, Senin (25/12)

Menurutnya, pandangan dan sikap ekstrem dan radikal itu dapat tumbuh lebih cepat karena kemudahan anak muda masa kini mengakses informasi instan yang beredar di dunia maya dan media sosial. Di sinilah terjadi proses radikalisasi secara sendiri yang sulit diantisipasi dan dibendung.

"Anak muda di perguruan tinggi juga tidak jelas pegangannya (pemahaman agama). Selama ini tidak komprenhensif, misalnya makna jihad dalam perang walaupun jihad itu dalam artinya sungguh-sungguh.

"Misal, apa saja yang dilakukan dengan jihad itu seperti menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh, mencari nafkah tapi karena pengetahuannya tidak komprenhensif tentang Islam artinya pemahamannya tidak menyeluruh maka dengan mudah mereka dalam satu pemahaman saja mengenai jihad," ungkapnya.

Secara umum, ia menyebut paham ekstremisme dan radikalisme muncul karena kepentingan ekonomi dan politik. Semisal, kelompok ISIS dan Al Qaeda serta kemiskinan dan pengangguran.

"Unsur politik misal Al Qaeda tertarik dengan Taliban, kedudukan Uni Soviet dulu. ISIS juga politik karena tujuannya membikin khilafah dan ketertarikan kedudukan Amerika, mengacak-acak di Timur Tengah, Wahabi Salafi juga terkait dengan politik," ucapnya.

"Unsur ekonomi misal kemiskinan bercampur politik seperti Yaman. Di Indonesia yang berpotensi radikalisme dari sumber ekonomi juga cukup karena kesenjangan ekonomi, banyak orang yang masih miskin, pengangguran, itu bisa menjadi faktor," ungkapnya.

Akibat maraknya kepentingan politik dan ekonomi yang memunculkan paham ekstremisme dan radikalisme membuat masyarakat masih percaya jika kedua paham tersebut bersumber dari keagamaan. "Dari sumber politik dan ekonomi diberikan justifikasi agama, pembenaran agama bahwa kita mau membikin satu sistem politik baru atau negara Islam itulah yang bisa membikin kepecahan ekonomi, Islam politik, dan lain-lain," tutup mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement