REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA) di perairan danau atau waduk berkembang sangat pesat. Sayangnya, berita menggembirakan itu terselingi kasus kematian massal ikan KJA. Kematian massal ikan tentu saja mengganggu program peningkatan jumlah produksi perikanan budidaya, selain mengganggu fungsi danau atau waduk sebagai lokasi pembangkit listrik tenaga air (PLTA), sumber air minum dan air bersih lainnnya, dan areal tujuan wisata.
Persoalannya, mengapa kasus kematian massal ikan KJA terjadi hampir saban tahun? Adakah upaya pencegahan dan pengendaliannya? Apa masalahnya?
Kepala Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDMKP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)Joni Haryadi mengakui, bahwa kasus kematian massal ikan KJA memang terjadi setiap tahun. Karena itu, BRSDMKP KKP bersama sejumlah lembaga riset dan perguruan tinggi rutin menyampaikan banyak data dan informasi penyebab kematian massal ikan KJA di danau atau waduk, termasuk upaya penanggulangannya, kepada pembudidaya dan para pengambil kebijakan, sebagai bagian upaya pencegahan dan pengendalian.
Meskipun pembudidaya menerima banyak data dan informasi penyebab kematian massal ikan KJA, tetapi komunikasi dua arah ini ternyata belum cukup. “Pembudidaya tidak begitu terpengaruh. Mereka tetap saja melakukan kegiatannya seperti biasa, malah berspekulasi dengan harapan mereka akan memperoleh untung yang lebih besar. Mereka berani melawan resiko,” ujar Toton, panggilan akrab Joni dalam siaran persnya yang diterima Republika.co.id, Ahad (24/12).
“Pembudidaya sebenarnya secara otodidak sudah mengetahui peristiwa tahunan itu, bahkan mampu memprediksi berdasarkan pengalaman mereka, gejala atau fenomena alam yang terjadi seperti seperti umbalan (upwelling),” katanya.
Sebagai upaya dalam pencegahan dan pengendalian kematian massal ikan KJA, BRSDMKP KKP menyusun kalender prediksi kematian massal ikan KJA yang dirilis kepada pembudidaya di Waduk Ir H Djuanda (Jawa Barat) yang dikenal sebagai Waduk Jatiluhur. Kalender itu juga dipublikasikan, sasarannya ialah para pengambil kebijakan. “Kami telah menyusun kalender prediksi kematian massal ikan.
"Kalender itu sebagai contoh upaya pencegahan dan pengendalian kematian massal ikan di Waduk Jatiluhur,” sambung pemegang master of science bidang suumberdaya akuatik jebolan Universiti Putra Malaysia (UPM) ini.
Bersamaan dengan kalender itu, pihaknya menyebarluaskan skema alur penanganan kematian massal ikan KJA sebagai cara penanganan kematian massal ikan KJA di Waduk Jatiluhur. Toton berharap, sebagai data dan informasi, kalender prediksi dan skema alur penanganan itu dapat membangun kesadaran pembudidaya dan para pengambil kebijakan untuk tidak menganggap sepele setiap kasus kematian massal ikan.
Doktor bidang biologi konservasi lulusan Universitas Indonesia (UI) ini mengutip hasil sejumlah riset yang menyimpulkan berbagai upaya pencegahan dan pengendalian kematian massal ikan KJA. “Upaya-upaya pencegahan dan pengendalian bisa dilakukan asalkan pembudidaya mematuhi peraturan dan mengikuti himbauan,” ujarnya.
Berbagai upaya pencegahan dan pengendalian itu dapat dikombinasikan penerapannya, untuk mengoptimalkan upaya pencegahan dan pengendalian kematian massal ikan KJA di perairan danau atau waduk, sembari menjaga kelestarian ekologis danau atau waduk. Berikut upaya-upaya pencegahan dan pengendalian kematian massal ikan KJA.
Pertama, pembudidaya harus mengetahui bahwa biomassa ikan KJA tidak boleh melebihi daya dukung perairan danau atau waduk.
Kedua, usaha budidaya ikan KJA hanya di perairan danau atau waduk yang memiliki tingkat trofik oligotrofik-mesotrofik. Jika di perairan yang subur (eutrofik atau hipertrofik), usaha budidaya ikan KJA justru menambah beban cemaran yang mengancam kelestarian ekologis danau atau waduk.
Ketiga, menetapkan tata ruang (zonasi) perairan danau atau waduk sesuai peruntukannya, agar kegiatan budidaya ikan KJA tidak mengganggu fungsi danau atau waduk. Misalnya, lokasi usaha budidaya ikan KJA ditetapkan di zona budidaya. Penataan ruang danau atau waduk juga bermanfaat untuk menghindari konflik kepentingan di antara pemanfaat perairan danau atau waduk.
Keempat, mengendalikan blooming fitoplankton sebagai ekses usaha budidaya ikan KJA dengan menebarkan ikan pemakan plankton (plankton feeder) seperti bandeng (Chanos chanos), ringo (Thynichthys thynoides), dan mola (Hypopthalmichthys molitrix). Penebaran bandeng untuk meningkatkan pemanfaatan fitoplankton itu telah berhasil di Waduk Jatiluhur dan Waduk Sempor (Jawa Tengah).
Kelima, mengurangi dampak negatif pakan yang tidak termakan ikan budidaya dengan menerapkan budidaya ikan dalam KJA ganda, karena ikan yang dipelihara dalam jaring lapisan kedua (bagian luar) tidak diberi makan dan hanya mengandalkan makanan yang tidak termakan ikan utama yang dipelihara dalam jaring lapisan kesatu (bagian dalam). Pemeliharan ikan mas di kantong jaring bagian dalam dan ikan nila di kantong jaring bagian luar telah dilakukan di Waduk Jatiluhur dan Waduk Cirata.
Keenam, menggunakan pakan ikan terapung yang kandungan Phospor (P) maksimal 1 persen saja, untuk mengurangi dampak penyuburan perairan danau atau waduk.
Berkelanjutan
Pengembangan budidaya ikan KJA di perairan danau atau waduk akan berpengaruh terhadap ekosistem perairan, baik disebabkan struktur fisik KJA maupun metode budidaya ikan KJA, yang dapat memberikan umpan balik negatif terhadap usaha budidaya. Struktur fisik KJA akan berpengaruh terhadap pemanfaatan lahan, arus air, dan estetika. Sedangkan metode budidaya ikan KJA akan berpengaruh terhadap kualitas air, predator, parasit, dan populasi ikan asli.
Karena itu, lelaki kelahiran Sungai Penuh (Kerinci), 3 Juni 1973 ini menganjurkan, agar pengembangan budidaya ikan KJA memperhatikan aspek tekno-biologis, aspek lingkungan, aspek sosial ekonomi, serta aspek legal dan kelembagaan. Dengan memperhatikan berbagai aspek itu, keberlanjutan usaha budidaya ikan KJA dapat dijamin karena kelestarian ekologis danau atau waduk dapat terjaga.
Tetapi, pengembangan budidaya ikan KJA di perairan danau atau waduk yang kaya jenis ikan endemik harus dicegah karena berpotensi merusak keanekaragaman jenis ikan bahkan memusnahkan jenis ikan endemik itu.
Terakhir, Toton mengingatkan, budidaya ikan KJA yang berkelanjutan harus terus menerus dikampanyekan kepada berbagai pihak, tidak hanya kepada pembudidaya, seperti pengelola badan air, lembaga pengelola sungai sebagai inlet badan air, Dinas Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Budidaya KKP, dan BRSDMKP KKP.