Ahad 24 Dec 2017 22:05 WIB

BMKG: Gempa di NTB Lebih Banyak Akibat Gunung Agung

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Bilal Ramadhan
Gempa bumi (ilustrasi)
Gempa bumi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan wilayah yang memiliki potensi cukup besar di bidang pariwisata karena keindahan alam dan budayanya. Namun di balik itu semua, wilayah NTB juga memiliki potensi terhadap bencana yang cukup besar khususnya bencana gempa bumi.

Kepala Stasiun Geofisika Mataram Agus Riyanto mengatakan, hasil monitoring gempa bumi oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Geofisika Mataram mencatat mencatat 1.071 kejadian gempa bumi di NTB selama 2017. Rata-rata jumlah gempa bumi per hari yang terjadi dari awal 2017 hingga 19 Desember 2017 adalah tiga kejadian.

"Gempa bumi paling banyak terjadi pada September, hal ini lebih dominan diakibatkan oleh peningkatan aktivitas Gunung Agung di Karangasem, Bali yang banyak menghasilkan gempa bumi vulkanik," ujar Agus di Mataram, NTB, Ahad (24/12).

Berdasarkan kekuatannya, kata Agus, gempa bumi yang paling sering terjadi di NTB didominasi oleh kekuatan M < 3,0 sebanyak 643 kejadian atau 60 persen dari total kejadian gempa bumi. Disusul gempa bumi berkekuatan 3,0 M 5,0 dengan 418 kejadian atau 39 persen dari total kejadian gempa bumi.

Sedangkan, gempa bumi dengan kekuatan M > 5,0 memiliki jumlah kejadian yang relatif paling sedikit yaitu 10 kejadian atau hanya 1 persen dari jumlah total kejadian gempa bumi sepanjang 2017, karena semakin besar kekuatan gempa bumi, maka stres yang dibutuhkan untuk menghasilkan gempa bumi tersebut juga besar.

Secara umum, wilayah NTB dan sekitarnya memiliki dua generator sumber gempa bumi, yang pertama, zona pertemuan Lempeng Indo Australia dengan Lempeng Eurasia di sebelah selatan atau biasa dikenal dengan sebutan Zona Subduksi, dan yang kedua adalah aktivitas Sesar Naik Belakang Busur Flores (Flores Back Arc Thrust) dari arah utara.

Sumber gempa bumi di zona subduksi biasanya dapat menghasilkan gempa bumi dengan kedalaman dangkal, menengah dan dalam dengan kecenderungan semakin ke utara lokasi gempa bumi maka kedalaman gempa bumi semakin dalam akibat penunjaman lempeng yang semakin ke utara semakin dalam, sedangkan sumber gempa bumi akibat Sesar Naik Belakang Busur Flores biasanya menghasilkan gempa bumi dengan kedalaman dangkal.

Agus menyebutkan, selama tahun ini, wilayah NTB dan sekitarnya didominasi kejadian gempa bumi dengan kedalaman dangkal (D < 60 Km) dan kedalaman menengah (60 Km D 300 Km) berturut-turut sebanyak 860 kejadian dan 199 kejadian, sedangkan untuk kejadian gempa bumi dengan kedalaman dalam (D > 300 Km) hanya terdapat 12 kejadian.

"Sepanjang 2017, dari 1.071 kejadian gempa bumi yang terjadi di wilayah NTB dan sekitarnya, terdapat 19 kejadian gempa bumi yang terasa," lanjut Agus.

Dari 19 kejadian gempa bumi terasa, terdapat 1 gempa bumi yang cukup signifikan dirasakan masyarakat di wilayah NTB dan sekitarnya, yakni gempa bumi yang mengguncang Bima dan Waingapu. Hasil analisis update dari BMKG menunjukkan bahwa gempabumi ini terjadi pada 31 Oktober 2017 pukul 06.37.19 WITA, dengan kekuatan M=5,4.

Episenter terletak pada koordinat 8,88 LS dan 118,98 BT, atau tepatnya berlokasi di laut pada jarak 18 km arah tenggara Kota Rupe, Kabupaten Bima, Propinsi Nusa Tenggara Barat pada kedalaman 133 km.

"Dampak gempa bumi ini dirasakan di Ruteng, Labuhan Bajo, dan Tambolaka II SIG-BMKG (III-IV MMI), Bima, Waingapu II SIG-BMKG (III MMI), Nusa Dua I SIG-BMKG (II-III MMI), dan Gianyar I SIG-BMKG (II MMI)," ucap Agus.

Jika ditinjau dari kedalaman hiposenternya, lanjut Agus, gempa bumi yang terjadi merupakan jenis gempa bumi menengah akibat aktivitas Subduksi Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia. Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa bumi ini dipicu aktivitas sesar naik (Thrust Fault).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement