REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU -- Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nur Wahid (HNW) menyayangkan keputusan Mahkmah Konstitusi yang menolak judicial review terkait upaya untuk kriminalisasi pelaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
"Betul bahwa MK tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan perluasan pembuatan hukum, tapi harusnya MK sebagai satu-satunya lembaga negara yang oleh Undang-Undang Dasar disyaratkan keanggotaannya di antaranya adalah negarawan, kenegarawanannya harusnya memahami betul sekecil apapun celah yang bisa merusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara kita, merusak Pancasila, Undang-undang Dasar, NKRI kita harusnya ditutup serapat-rapatnya. Salah satu yang potensial untuk kemudian merusak Pancasila itu adalah LGBT ini," katanya saat melakukan sosialisasi empat pilar di Bengkulu, Kamis (21/12).
Sosialisasi dihadiri sekitar 200 lebih peserta. Selain HNW juga hadir anggota MPR Fraksi PKS Mustafa Kamal. Di hadapan sekitar 200 lebih para peserta sosialisasi tersebut, HNW mengatakan bahwa LGBT bertentangan dengan Pancasila dan UDD 1945, serta membahayakan NKRI.
"Bahkan Jenderal Ryamizard Ryacudu, Menhan, sudah menyampaikan bahwa LGBT ini adalah proxy war terhadap Indonesia, ia adalah perang asimetris, perang halus untuk menghancurkan Indonesia," katanya.
Dalam kesempatan itu, HNW menyampaikan LGBT bertentangan dengan Pancasila, sila pertama, kedua dan ketiga. LGBT bertentangan dengan UUD pasal 28, terutama terkait dengan masalah hak untuk membuat keturunan, membuat keluarga pasal 28 J ayat 1 dan ayat 2.
"Kalaupun dikatakan bahwa LGBT adalah hak asasi manusia, hak asasi manusia di Indonesia bukan hak asasi manusia yang liberal, hak asasi manusia yang harus juga mempertimbangkan hak asasi manusia yang lain, yang harus mempertimbangkan hak asasi manusianya dan juga harus merujuk pada agama yang diakui di Indonesia, tidak ada satu agamapun yang membolehkan LGBT dan membuat fatwa praktikkanlah LGBT maka anda masuk surga," katanya.
Selain itu, menurut dia, praktik LGBT juga bertentangan dengan Perppu No 2/2017 tentang Ormas yang telah menjadi UU. Di dalamnya mengatur ancaman terhadap penistaan suatu agama.
"Dengan UU Keormasan, hukum pidana minimal lima tahun sampai seumur hidup, dengan salah satunya adalah mereka yang melakukan penistaan terhadap agama, salah satu bentuk penistaan ya praktik LGBT itu, karena tidak ada agama apapun yang mengizinkan praktik LGBT," katanya.