Kamis 21 Dec 2017 05:01 WIB

Gerakan LGBT di Balik Pertarungan Politik di Indonesia

Anggota Detasemen Polisi Militer IV/4 Solo, Kopral Kepala (Cpm) Partika Subagyo Lelono beserta sejumlah anak menggelar Aksi Tolak Narkoba dan LGBT di Solo, Jawa Tengah, Rabu (24/2).
Foto: Antara/Maulana Surya
Anggota Detasemen Polisi Militer IV/4 Solo, Kopral Kepala (Cpm) Partika Subagyo Lelono beserta sejumlah anak menggelar Aksi Tolak Narkoba dan LGBT di Solo, Jawa Tengah, Rabu (24/2).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy

 

Isu mengenai LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) kembali mengemuka pekan ini. Mengemukanya isu LGBT tak terlepas keputusan lima hakim Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan uji materi Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292. 

 

Ada pro dan kontra terkait putusan ini. Terlepas dari teknis putusan MK, inti dari perdebatan besar di ruang publik sejatinya hanya mereka yang pro vs kontra terhadap fenomena LGBT ini. 

 

Isu pro dan kontra soal LGBT sejatinya bukanlah isu yang baru terjadi. LGBT adalah sebuah narasi lintas zaman yang mana pro dan kontranya menjadi perdebatan global. 

 

Ini merupakan perdebatan yang terjadi di berbagai negara. Berbicara dalam konteks sejarah, kita bisa mengetahui bahwa usaha untuk melegalisasi LGBT sejatinya merupakan gerakan yang terencana dan sistematis. 

 

Narasi dari gerakan ini melekat erat dengan gerakan politik. Di beberapa negara, kelompok LGBT bahkan masuk sebagai salah satu kekuatan politik. Di barat, sejumlah partai berhaluan liberal punya misi legalisasi terhadap LGBT. 

 

Di Inggris, LGBT menjadi salah satu bagian dari sayap partai Liberal Demokrat. Sedangkan di Amerika, gerakan LGBT terafiliasi dengan Partai Demokrat. 

 

LGBT memiliki agenda politik. Sebab usaha mereka untuk melegalkan pernikahan sejenis memang berada di ruang-ruang kekuasaan. Karena itu, wajar saja jika kalangan LGBT kemudian memiliki afiliasi dengan calon presiden, calon gubernur, atau kekuatan partai tertentu.

 

Di Amerika, LGBT bahkan menjadi substansial untuk menentukan pilihan politik. Hampir setiap debat calon presiden di Amerika, soal pro dan kontra LGBT ini selalu dibahas sebagai tema.

 

Tak hanya debat soal ide, masalah LGBT akhirnya terwujud dalam policy negara. Saat kekuatan pro LGBT berkuasa, konsekuensinya adalah legalisasi pernikahan sesama jenis.  

 

Ini seperti yang tercermin di Amerika.  Menjelang lengser, rezim Barack Obama akhirnya mengesahkan pernikahan sesama jenis pada 26 Juni 2015. Kalangan LGBT maupun liberal bersorak sebab Amerika berhasil ditaklukan. 

 

Tapi di sisi lain,  kemenangan Demokrat soal LGBT akhirnya memanaskan kekuatan politik konservatif di Amerika. Kekuatan yang awalnya mulai apatis, akhirnya kembali solid. 

 

Kalangan yang juga dikenal sebagai white, anglo-saxon, Protestant (WASP) ini memang lebih condong kepada partai konservatif, Republik, yang anti-LGBT. Partai Republik berhasil mengkapilaisasi isu menolak LGBT ini hingga merebut kembali kemenangan pada 2016. 

 

 

Situasi yang sama dengan Amerika kini terjadi di berbagai negara di dunia. Isu pro dan anti-LGBT memisahkan dua kekuatan politik di sejumlah negara. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement