Rabu 20 Dec 2017 17:48 WIB

Mengenal Transaksi Bitcoin dalam Perspektif Islam

Bitcoin
Bitcoin

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nadia Putri Adityo *)

Di era yang sangat modern seperti saat ini, memunculkan teknologi yang canggih dalam beberapa bidang kehidupan manusia untuk menjalankan aktivitasnya--tak terkecuali kecanggihan yang dapat kita rasakan dalam transaksi jual beli-- hanya dengan melalui internet. Yang paling canggih, saat ini, telah terdapat transaksi mata uang digital yang bernama Bitcoin. Dalam transaksinya, Bitcoin menawarkan sistem transaksi dengan uang digital tanpa perantara pihak ketiga dalam melakukan pembayarannya.

Dalam perekonomian modern, peranan uang bertambah sesuai dengan bertambah fungsinya. Uang tidak lagi hanya dikenal sebagai alat pertukaran, akan tetapi digunakan sebagai penghitung nilai (unit of accounts), alat penimbun kekayaan (store of value), dan standar pembayaran tundaan (standard of deferred payments), atau bahkan lebih ekstrim uang digunakan sebagai barang komoditi.

Perkembangan teknologi dan perekonomian mendukung perubahan sistem pembayaran yang baru yaitu uang digital. Di awali dengan sistem pembayaran dengan menggunakan logam berharga seperti emas dan perak, lalu berubah menjadi aset kertas seperti cek dan uang kertas. Selanjutnya, mengalami perubahan sebagai dampak dari pola hidup masyarakat di kota-kota besar, karena terhimpit dengan dengan waktu, kesibukan, dan karir sehingga membuat fenomena baru dengan memilih tranksaksi menggunakan uang elektronik.

Munculnya ide penciptaan mata uang baru tersebut berbasiskan pada cryptography. Penggunaan lain dari cryptography dapat menunjang kehidupan masyarakat dalam bidang jual beli mata uang digital yang disebut dengan cryptocurrency. Cryptocurrency adalah mata uang digital yang tidak diberikan regulasi oleh pemerintah dan tidak termasuk mata uang resmi. Konsep inilah yang menjadi dasar dalam melahirkan mata uang digital yang saat ini kita kenal dengan istilah Bitcoin yang digunakan sebagai alat pembayaran layaknya mata uang pada umumnya.

Perkembangan transaksi digital seperti ini tentu tidak dapat dihindari oleh masyarakat, tapi juga mendapatkan respon yang berbeda-beda tidak hanya di Indonesia tapi di negara lain. Hingga saat ini, hanya ada enam negara di dunia yang melegalkan transaksi Bitcoin yakni, Jepang, Amerika Serikat, Denmark, Korea Selatan, Finlandia dan Rusia.

Bitcoin merupakan salah satu dari beberapa mata uang digital yang pada awalnya muncul di tahun 2009 yang diperkenalkan oleh Satoshi Nakamoto sebagai mata uang digital yang berbasiskan cryptography. Bitcoin diciptakan oleh jaringan Bitcoin sesuai dengan kebutuhan dan permintaan Bitcoin, melalui sistematis berdasarkan perhitungan matematika secara pasti. Bitcoin juga merupakan pembayaran dengan teknologi peer-to-peer dan open source. Setiap transaksinya akan disimpan dalam database jaringan Bitcoin.

Pro dan kontra terkait penggunaan mata uang Bitcoin sebagai alat transaksi pembayaran terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Hal ini dikarenakan Bitcoin belum memenuhi beberapa unsur dan kriteria sebagai mata uang yang berlaku di Indonesia. Bitcoin juga bukanlah mata uang yang dikeluarkan oleh negara, akan tetapi dikeluarkan melalui sistem cryptography jaringan-jaringan komputer. Dari segi wujud, Bitcoin tidak berwujud koin, kertas, perak maupun emas.

Jika dilihat dari sudut pandang kelebihan dan kekurangan tentu Bitcoin memiliki keduanya jika digunakan sebagai mata uang, yaitu tidak adanya payung hukum yang mengatur peredaran mata uang Bitcoin. Selain itu tidak ada satu lembaga pun yang bertanggungjawab apabila terjadi penyalahgunaan terhadap Bitcoin misalnya pencurian, money laundry, penipuan, dan tindak pidana lainnya. Dari sisi kelebihannya, Bitcoin tidak mengenal batas negara, tidak terpengaruh karena kondisi politik di pemerintahan, berperan sebagai nilai lindung dari inflasi, dan sebagai salah satu bentuk baru tabungan masyarakat yang diterapkan dengan sistem yang tidak merepotkan karena peran bank sebagai perantara telah dihilangkan.

Penggunaan Bitcoin sebagai mata uang juga menjadi kajian yang menarik dari perspektif ekonomi Islam. Kemunculan fenomena baru dalam perekonomian tentu harus diikuti kesesuaiannya dengan hukum Islam. Penggunaan Bitcoin sebagai mata uang perlu diperhatikan apakah sudah tepat atau belum?

Dalam hadis dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika emas dibarter dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum bur (gandum halus) ditukar dengan gandum bur, gandum syair (kasar) ditukar dengan gandum syair, korma ditukar dengan korma, garam dibarter dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai” (HR. Muslim 4147)

Dari hadis tersebut ditafsirkan mayoritas ulama menyepakati bahwa emas dan perak diberlakukan hukum riba karena memliki status sebagai alat tukar dan alat ukur nilai benda lainnya. Sehingga dalam kondisi tersebut bukan terfokus pada nilai instrinsik bendanya melainkan kegunaannya.

Dalam suatu hadis pula diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab pernah berkeinginan membuat uang dari kulit unta, akan tetapi dibatalkan karena dikhawatirkan unta akan punah. Hadis tersebut mengisyaratkan bolehnya menjadikan suatu hal selain emas dan perak sebagai alat tukar.

Dapat disimpulkan sementara bahwa penggunaan bitcoin sebagai mata uang secara hukum Islam diperbolehkan. Akan tetapi, penggunaannya tidak legal di Indonesia karena kebijakan Bank Indonesia dalam menetapkan mata uang yang diakui di Indonesia hanya mata uang Rupiah.

Dalam tinjauan fiqh, muamalah terhadap transaksi Bitcoin dalam prosesnya menggunakan akad Sharf. Sharf merupakan kegiatan jual beli mata uang dengan mata uang, baik yang sejenis maupun yang tidak sejenis, seperti jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, atau emas dengan perak. Namun dalam praktiknya, akad Sharf harus memenuhi rukun dan syaratnya yaitu, serah terima objek akad sebelum kedua pihak yang berakad berpisah, sejenis, tidak ada khiyar dan tidak ditangguhkan.

Ditinjau dari ketentuan jenis transaksi, maka transaksi Bitcoin termasuk dalam jenis transaksi spot. Transaksi spot atau Spot Transaction merupakan transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu, dengan waktu penyelesaiannya sekitar dua hari. Hukumnya boleh, karena dianggap tunai sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian terhadap transaksi internasional.

Kriteria pemenuhan akad sharf yang sah menurut DSN-MUI Nomor 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Sharf) yaitu, tidak untuk spekulasi (untung-untungan), ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan), apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (taqanudh), dan apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.

Realita yang ada hari ini, penggunaan Bitcoin untuk tujuan spekulasi tidak dapat dinilai utuh karena kembali pada pribadi masing-masing yang menjalankannya. Artinya, transaksi Bitcoin boleh digunakan selama tidak untuk tujuan spekulasi. Selain tidak adanya motif spekulasi, syarat lain adalah kebutuhan untuk berjaga-jaga (simpanan) yang dapat dilakukan dalam kepemilikan Bitcoin sehingga syarat kedua terpenuhi apabila masyarakat menjadikan bitcoin sebagai instrument investasi.

Syarat ketiga yang mengharuskan mata uang sejenis dan nilainya harus sama dan tunai juga terpenuhi karena transaksi Bitcoin menukarkan antar mata uang Bitcoin. Syarat keempat, pengecualian apabila berlainan jenis maka bitcoin dapat ditukar dengan mata uang Dolar Amerika Serikat. Sehingga hampir keempat syarat tersebut terpenuhi, tanpa adanya motif spekulasi.

Pandangan ulama yang tergabung dalam DSN-MUI belum mengeluarkan secara resmi fatwa terkait hukum fiqh transaksi Bitcoin. Akan tetapi jika ditinjau melalui hukum fiqh menurut Al-Ghazali bahwa syarat-syarat suatu benda dapat dikatakan sebagai uang yaitu, uang tersebut dicetak dan diedarkan oleh pemerintah, pemerintah menyatakan bahwa uang tersebut merupakan alat pembayaran yang resmi di suatu wilayah, dan pemerintah memiliki cadangan emas dan perak sebagai tolak ukur dari uang yang beredar. Sehingga, transaksi Bitcoin tidak memenuhi ketiga syarat tersebut untuk disebut sebagai alat pembayaran.

Keputusan hukum fiqh dalam transaksi Bitcoin belum secara resmi dikeluarkan fatwa oleh DSN-MUI sebagai pihak yang diberikan kewenangan dalam menentukan boleh tidaknya transaksi tersebut dilakukan berdasarkan perspektif Islam, akan tetapi dari pihak Bank Indonesia telah menekan penggunaan bictcoin dan menyatakan bahwa hanya mengakui Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia, dan melarang seluruh penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk menggunakan mata uang virtual melalui peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016.

Dalam beberapa pandangan tersebut, kita dapat melihat bahwa transaksi Bitcoin dapat memenuhi empat syarah sah akad sharf tanpa ada motif spekulasi. Dari sudut pandang penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran tidak memenuhi ketiga syarat yang ada menurut hukum fiqh menurut Al-Ghazali.

Selain itu, tidak adanya regulasi, dan berpotensi terhadap penyalahgunaan Bitcoin cukup besar sehingga transaksi bitcoin masih memiliki potensi ke mudharatan yang lebih besar jika dibandingkan dengan keuntungan yang didapat. Transaksi Bitcoin tidak disarankan dalam penggunaannya saat ini sampai ada yang mengatur regulasi secara resmi, bertanggung jawab, dan dikeluarkannya hukum fiqh oleh pihak DSN-MUI dalam kegiatan muamalah tersebut. Perlu diperhatikan bahwa pada dasarnya dalam segala kondisi kaidah yang perlu diterapkan adalah “Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan”.

*) Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia, Program Ekonomi Keuangan Syariah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement