REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terdakwa kasus korupsi proyek pengadaan KTP-elektronik (KTP-el) Setya Novanto akan kembali menjalani persidangan pada Rabu (20/12). Agenda persidangannya adalah pembacaan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan yang dibacakan oleh jaksa penuntut umum (JPU) KPK.
Kuasa hukum Novanto, Maqdir Ismail menerangkan, dalam kesempatan eksepsi besok, tim kuasa hukum Novanto akan terus mencecar ihwal nama-nama yang hilang dalam dakwaan seperti Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Menkumham Yasonna H Laoly dan Bendum PDIP Olly Dondokambey.
Maqdir juga mengaku heran dengan sikap KPK yang mengimbau dirinya untuk tidak banyak bicara di luar persidangan. Menurutnya, KPK seperti menutupi kesalahannya yang terburu-buru dalam kasus yang menjerat kliennya itu, terlebih banyaknya kejanggalan perlakuan KPK terhadap sejumlah politikus, terutama kepada kader-kader PDIP.
Baca, Nama-Nama yang Raib di Dakwaan Versi Pengacara Setnov.
"Saya kira mereka yang melakukan kesalahan kok, kesalahan itu ada pada mereka, kenapa dalam dakwaan perkaranya Irman disebut sejumlah nama sebagai penerima, tapi di perkara yang lain menjadi hilang. Sementara mereka ini (Irman, Sugiharto, Andi Narogong dan Novanto) didakwa bersama-sama. Tidak perlu ngeles gitu lah (KPK). Kalau salah, ya akuin saja salah. Jangan cuma orang saja disuruh mengaku salah," ucap Maqdir.
Setya Novanto, pada pekan lalu didakwa menyalahgunakan kewenangan selaku anggota DPR dalam proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (KTP-el). JPU KPK, membacakan dakwaan tersebut dalam persidangan pembacaan dakwaan yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (13/12).
Baca, Nama Politikus PDIP Hilang dari Dakwaan Setnov, Ini Kata KPK.
"Terdakwa melakukan atau yang turut serta melakukan secara melawan hukum yaitu terdakwa baik secara langsung maupun tidak langsung melakukan intervensi dalam proses penganggaran dan pengadaan barang/jasa paket pekerjaan Penerapan KTP Berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) secara Nasional (KTP Elektronik)," ujar Jaksa KPK Irene Putri saat membacakan surat dakwaan dalam ruang persidangan.
Penyalahgunaan kewenangan itu dilakukan Setya Novanto untuk menguntungkan diri sendiri, serta memperkaya orang lain dan korporasi. Dalam surat dakwaan disebutkan, selama bergulirnya proyek KTP-el diatur untuk menggunakan anggaran rupiah murni yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) agar pencairan anggaran membutuhkan persetujuan DPR RI.