REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa hukum terdakwa kasus korupsi proyek pengadaan KTP-elektronik (KTP-el) Setya Novanto, Maqdir Ismail mengungkapkan saat ini tim kuasa hukum Novanto sedang menyusun eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan jaksa yang akan dibacakan pada Rabu (20/12)di Pengadilan Tipikor Jakarta. Adapun, dalam pembacaan eksepsi besok, hanya akan dilakukan tim kuasa hukum.
"Kami akan sampaikan keberatan terkait beberapa poin dakwaan saja. Tidak ada (eksepsi pribadi Novanto), hanya kami saja kuasa hukum, karena ini kan betul-betul kita bicara soal teknis bagaimana soal surat dakwaan, teknis surat dakwaan ya cukup kuasa hukum saja," terang Maqdir saat dihubungi, Selasa (19/12).
Dalam eksepsi nanti, lanjut Maqdir, salah satu poinnya adalah, adanya perbedaan antara surat dakwaan Novanto dan terdakwa lain, seperti Irman dan Sugiharto. Padahal sejak awal, KPK menguraikan siapa saja yang diduga turut bersama-sama melakukan korupsi KTP-el, begitupun siapa saja pihak yang ikut menikmati uang korupsi sebesar Rp 2,3 triliun itu.
"Jadi itu soal perbedaan, nama-nama orang yang didakwa bersama-sama, ada perbedaan nama-nama orang yang disebut menerima dan yang diuntungkan dalam proyek itu," ungkap Maqdir.
Ketua DPR RI Setya Novanto didakwa menyalahgunakan kewenangan selaku anggota DPR dalam proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (KTP-el). Jaksa Penuntut Umum KPK, membacakan dakwaan tersebut dalam persidangan pembacaan dakwaan yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (13/12).
"Terdakwa melakukan atau yang turut serta melakukan secara melawan hukum yaitu terdakwa baik secara langsung maupun tidak langsung melakukan intervensi dalam proses penganggaran dan pengadaan barang/jasa paket pekerjaan Penerapan KTP Berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) secara Nasional (KTP Elektronik)," ujar Jaksa KPK Irene Putri saat membacakan surat dakwaan dalam ruang persidangan.
Penyalahgunaan kewenangan itu dilakukan Setya Novanto untuk menguntungkan diri sendiri, serta memperkaya orang lain dan korporasi. Dalam surat dakwaan disebutkan, selama bergulirnya proyek KTP-el diatur untuk menggunakan anggaran rupiah murni yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) agar pencairan anggaran membutuhkan persetujuan DPR RI.