Jumat 15 Dec 2017 20:30 WIB

'Dua per Tiga Kasus Difteri Berstatus Imunisasi Nol'

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Winda Destiana Putri
Seorang siswi berekspresi saat diimunisasi difteri pada sosialisasi komitmen pelaksaan kegiatan Outbreak Response Immunization (ORI) Difteri di Sekolah SMAN 33 Jakarta, Jalan Kamal Raya, Jakarta Barat, Senin (11/12).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Seorang siswi berekspresi saat diimunisasi difteri pada sosialisasi komitmen pelaksaan kegiatan Outbreak Response Immunization (ORI) Difteri di Sekolah SMAN 33 Jakarta, Jalan Kamal Raya, Jakarta Barat, Senin (11/12).

REPUBLIKA.CO.ID, Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri yang belum lama ini merebak dilatarbelakangi oleh banyaknya anak yang tidak mendapatkan imunisasi difteri sama sekali. Salah satunya dikarenakan keengganan orang tua untuk mengimunisasi anak mereka.

"Kasus difteri ini muncul bukan karena imunisasi tidak lengkap, tapi ada yang tidak imunisasi sama sekali," terang Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan RI dr Elizabeth Jane Soepardi MOH Dsc saat dihubungi Republika.co.id.

Berdasarkan data yang dimiliki Kementerian Kesehatan RI, dua per tiga dari kasus difteri memiliki status imunisiasi nol. Status imunisasi nol menunjukkan bahwa pasien difteri yang bersangkutan sama sekali belum mendapatkan imunisasi.

Temuan ini membuat program Outbreak Response Immunization (ORI) tidak cukup dilakukan hanya dengan satu dosis. Program ORI untuk KLB difteri, terang Elizabeth, harus diberikan sebanyak tiga dosis seperti halnya dalam imunisasi dasar.

"Dengan jarak antara yang pertama dan kedua satu bulan, antara yang kedua dan ketiga itu enam bulan," lanjut Elizabeth.

Elizabeth menegaskan bahwa penyakit difteri hanya bisa dicegah melalui imunisasi. Efektivitas dari imunisasi difteri sangat tinggi, mencapai 95 persen.

Oleh karena itu, Elizabeth mengimbau agar orang tua memperhatikan status imunisasi anak mereka dengan seksama. Anak yang belum mendapatkan status imunisasi lengkap harus segera dilengkapi.

Untuk wilayah yang mendapatkan program ORI, imunisasi akan diberikan tanpa melihat status imunisasi sebelumnya. Dengan kata lain, individu yang sudah memiliki status imunisasi lengkap juga akan diberikan vaksin difteri.

Elizabeth mengatakan imunisasi pada individu yang memiliki status imunisasi lengkap tidak berbahaya. Sebaliknya, imunisasi tambahan ini malah menguntungkan individu tersebut, mengingat kekebalan dari imunisasi difteri tidak berlangsung seumur hidup.

"Titer antibodinya semakin tahun semakin turun, jadi setiap 10 tahun harusnya diulang," jelas Elizabeth.

Terkait adanya penolakan vaksin dari sebagian orang tua, Menteri Kesehatan RI Prof Dr dr Nila Djuwita F Moeloek SpM(K) angkat bicara. Nila menegaskan bahwa imunisasi adalah upaya pencegahan penyakit spesifik yang merupakan hak setiap anak.

"Ada aturan, bilamana terjadi sesuatu seperti ini (KLB). Tidak ada kata lain. Kita harus berikan, (masyarakat) harus menerima," tegas Nila.

Nila juga membantah isu dari kelompok tidak bertanggung jawab yang menyatakan bahwa KLB difteri adalah hoax. Nila mengatakan kemunculan satu kasus difteri saja sudah bisa dianggap sebagai early warning atau KLB. Alasannya, difteri merupakan penyakit yang sangat menular dan mudah menyebar.

Data dari Kementerian Kesehatan RI yang terbaru menunjukkan bahwa penyebaran penyakit ini masih terus menyebar. Jika per 4 November lalu tercatat ada laporan difteri dari 20 provinsi, saat ini sudah meningkat menjadi 25 provinsi. Jumlah laporan kasus difteri yang datang dari kabupaten pun meningkat dari 95 kabupaten menjadi 123 kabupaten. Total kasus yang tercatat sebelumnya 591 kasus kini sudah meningkat menjadi 663 kasus.

Kondisi ini menunjukkan pentingnya upaya pencegahan spesifik melalui imunisasi sejak dini. Penyakit difteri tak boleh disepelekan karena berpotensi menyebabkan beragam komplikasi yang bisa mempengaruhi kualitas hidup hingga mempengaruhi proses tumbuh kembang anak. Beberapa komplikasi difteri pun juga bersifat fatal dan bisa menyebabkan kematian. Akan sangat disayangkan jika seseorang harus mengalami beragam komplikasi merugikan akibat penyakit yang seharusnya bisa dicegah ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement