Kamis 14 Dec 2017 20:17 WIB

Muhammadiyah Hadir di Tengah Bencana dan Konflik

Rep: Eric Iskandarsjah/ Red: Fernan Rahadi
Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) memberikan bantuan di Rakhine, Myanmar.
Foto: Muhammadiyah
Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) memberikan bantuan di Rakhine, Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, Sebagai wujud nyata kepedulian Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah terhadap persoalan kemanusiaan, maka Muhammadiyah senantiasa hadir dalam memberikan bantuan bagi saudara-saudara yang tengah mengalami kesulitan. Baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri, baik itu bagi yang tengah terdampak bencana alam maupun terdampak konflik di suatu wilayah.

Agar lebih fokus dalam mewujudkan bantuan, PP Muhammadiyah memiliki sebuah lembaga bernama Lembaga Penanggulangan Bencana atau Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC).

Salah satu bantuan di luar negeri yang pernah dilakukan dan masih berjalan adalah bantuan untuk masyarakat Rohingya. Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana PP Muhammadiyah, Budi Setiawan mengatakan, saat ini bantuan yang diberikan terpusat di kamp pengungsian yang terdapat di Bangladesh.

"Kami fokus untuk memberikan bantuan kesehatan," ujar Budi kepada Republika saat dijumpai di kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Selasa (12/12).

Sebenarnya, rencana awal, MDMC akan memberikan bantuan di Rakhine, Myanmar. Rencana itupun telah diawali dengan langkah assessment yang dilakukan pada Desember 2016. Langkah itu dilakukan untuk mengetahui bantuan apa saja yang dibutuhkan oleh masyarakat Rohingya di Myanmar.

Namun, lanjutnya, assessment belum rampung, namun rencana itu terpaksa harus mengalami perubahan. "Konflik yang memanas pada Agustus 2017 memaksa kami untuk merubah rencana. Kemudian, karena banyaknya masyarakat Rohingya yang mengungsi ke Bangladesh, maka bantuan pun kami pusatkan di Bangladesh ," ucapnya.

Paket kegiatan di Bangladesh sendiri dipusatkan di kota Cox's Bazaar. Kegiatan efektif dilakukan pada September 2017 dan direncanakan akan dilakukan selama enam bulan. Bantuan kesehatan dipilih menjadi fokus bantuan utama yang dilakukan karena fasilitas kesehatan adalah fasilitas yang sangat dibutuhkan bagi pengungsi.

 Menurutnya, hingga saat ini telah terdapat 20 tenaga medis yang dikirim ke Bangladesh. Tenaga medis itu terdiri dari tenaga perawat dan tenaga dokter. Seluruh tenaga medis itu dikirim secara bergantian setiap dua pekan.

"Dalam kondisi seperti itu, faktor kejenuhan menjadi tantangan tersendiri bagi tim yang bertugas," kata dia. Oleh karena itu, MDMC selalu menerapkan pergantian tim setiap dua pekan sekali. Sehingga, tim yang bertugas tidak mengalami titik jenuh yang dapat berpengaruh terhadap kinerjanya selama bertugas.

Wajar saja jika mungkin stress atau kejenuhan menjadi tantangan tersendiri. Pasalnya, untuk di Bangladesh, terdapat pengungsi yang totalnya mencapai ratusan ribu jiwa. Setiap hari, tim medis MDMC harus meberikan pelayanan kepada 300 pasien per hari dengan jam kerja mulai pukul 9 pagi hingga pukul 3 sore non stop.

Menurutnya, mayoritas pengungsi yang dirawat adalah pengungsi yang mengalami tekanan darah tinggi, mengalami luka dan kekurangan asupan gizi. Selain itu, lanjut dia, mengingat kondisi pengugsian yang memprihatinkan, pengugsi pun berpotensi terserang kolera dan difteri.

Oleh karena itu, MDMC pun senantiasa menekankan promosi kesehatan (Promkes) untuk terus meberikan edukasi kepada pengungsi agar dapat selalu menjaga kebersihan. Promkes yang ditekankan pun lebih terkait higienitas seperti membiasakan diri untuk mencuci tangan.

Ia mengatakan, pemberian bantuan ini terangkum dalam satu payung bernama Muhammadiyah Aid, yang merupakan gabungan dari beberapa majelis dan lembaga dalam Muhammadiyah. Beberapa unsur yang tergabung dalam Muhammadiyah Aid itu adalah MDMC, LazisMu, Majelis Hubungan Luar negeri dan Majelis Pelayanan Kesehatan Umum (MPKU).

Selain itu, kegiatan ini pun menggandeng Kementerian Luar Negeri serta International Hummanity Association yang juga melibatkan Dompet Dhuafa, Rumah Zakat serta PKPU. "Kami pun menggadeng tim lokal, karena kami juga mengalami kendala bahasa. Hal ini menjadi tantangan tersendiri karena saat memeriksa pasien namun tidak diiringi dengan komunikasi yang baik maka keluhan kesehatan dari pengungsi pun tak dapat tersampaikan dengan baik," ujarnya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement