Ahad 10 Dec 2017 15:35 WIB

Yerusalem dan Pesan Kebajikan Umar bin Khattab

(File Foto) Suasana Dome of The Rock di kompleks Al Aqsa, Yerusalem, Palestina beberapa waktu lalu. Pejabat senior Pemerintahan Trump mengabarkan Trump akan mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel dan memindahkan kedutaan besarnya ke kota tua ini.
Foto: Oded Balilty/AP
(File Foto) Suasana Dome of The Rock di kompleks Al Aqsa, Yerusalem, Palestina beberapa waktu lalu. Pejabat senior Pemerintahan Trump mengabarkan Trump akan mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel dan memindahkan kedutaan besarnya ke kota tua ini.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Joni Hermana, Rektor Institut Teknoligi Surabaya (ITS).

Yerusalem, atau yang juga dikenal dengan nama Al-Quds, menjadi topik pembicaraan hangat akhir-akhir ini, terutama setelah Trump secara terbuka menyampaikan pengakuannya sebagai Ibu Kota Israel.

Pernyataan yang menyulut kemarahan banyak pihak, karena seolah menafikkan sejarah peradaban umat manusia bahwa kota itu merupakan tempat suci bagi tiga penganut agama samawi, yaitu Islam, Kristen dan Yahudi.

Daerah inilah yang menjadi tempat tinggalnya banyak Nabi dan Rasul serta juga tempat yang menjadi awal perjalanan menuju Sidratul Muntaha oleh Rasulullah SAW saat peristiwa Isra’ dan Mi’raj.

Mungkin Trump perlu belajar sejarah, setidaknya ia perlu meneladani bagaimana Khalifah Umar bin Khattab, menunjukkan kebesarannya sebagai seorang pemimpin, penguasa sekaligus negarawan yang mulia.

Saat terjadi pertempuran pembebasan wilayah utara Timur Tengah; dari mulai wilayah Palestina, Yordania, pesisir Levantina, dan Suriah oleh pasukan Islam dari penguasaan tentara Byzantium (Kekaisaran Romawi-Yunani) yang berakhir dengan pengepungan Yerusalem pada tahun 637 M, terjadi perdebatan antara pimpinan pasukan Byzantium, Artavon dan Uskup Agung Gereja Yerusalem yaitu Patriarch Sophronius.

Artavon tidak ingin bila Yerusalem diserahkan pada pasukan Islam. Di lain sisi, Sophronius menginginkan Yerusalem diserahkan pada pasukan Islam dengan damai. Dia yakin kedatangan pasukan Islam sebagai bentuk kehendak Tuhan.

Keputusan akhir inilah yang kemudian diambil, dan hal itu lalu disampaikan kepada pasukan Islam dengan syarat bahwa yang harus menerima “kunci kota” adalah Khalifah Umar bin Khatab sendiri dari tangan Sophronius. Menerima kabar ini, maka berangkatlah Sang Khalifah dari Madinah memenuhi undangan itu menuju Yerusalem.

Yang ingin diceritakan di sini adalah bagaimana reaksi kekaguman dan rasa hormat Uskup Sophronius kepada Khalifah Umar ketika beliau tiba di kota Yerusalem.

Pertama, beliau sudah menyiapkan penyambutan arak-arakan yang meriah, namun terkejut ketika melihat kenyataan bahwa yang datang adalah hanya dua orang berpakaian sederhana bersama seekor keledai. Yang satu naik di atas punggung keledai, sedangkan satunya menuntun keledainya.

Banyak orang yang menyambut saat itu mengira bahwa  Khalifah Umar adalah yang di punggung keledai. Dugaan itu keliru, sebab justru Sang Penguasalah yang menuntun keledai, sebab ia memberlakukan pengawalnya secara manusiawi, artinya mereka bergantian menunggangi keledai itu selama menempuh perjalanan panjang ke kota Jerusalem. Saat itu, kebetulan giliran sang pengawallah yang menunggangi keledai.

Keduanya, beliau juga terkesima ketika mengajak Khalifah Umar berkeliling kota Yerusalem, termasuk mengunjungi Gereja Makam Suci (dalam keyakinan Kristen, Nabi Isa dimakamkan di gereja ini). Karena sudah tiba waktu shalat, Uskup Sophronius mempersilakan Khalifah Umar untuk shalat di dalam gereja, namun beliau serta merta menolaknya, lalu memilih shalat di luar gereja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement