Sabtu 09 Dec 2017 10:39 WIB

Harga Sewa Rusun Berkorelasi dengan Tidur di Kuburan

Rep: Singgih Wiryono/ Red: Joko Sadewo
Sejumlah warga korban penggusuran lahan di Kampung Palem Nuri, Kelurahan Panunggangan Barat, Kota Tangerang harus bermalam di lahan kuburan, Kamis (7/12).
Foto: Republika/Singgih Wiryono
Sejumlah warga korban penggusuran lahan di Kampung Palem Nuri, Kelurahan Panunggangan Barat, Kota Tangerang harus bermalam di lahan kuburan, Kamis (7/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah Kota Tangerang telah menggusur warga Palem Nuri dari tempat tinggalnya. Namun warga masih banyak yang menolak masuk rumah susun (Rusun) yang disediakan.

Selain karena memang tidak mau pindah ke Rusun, ada juga alasan tidak mau masuk Rusun karena harga sewa yang tinggi. Lalu seberapa besar sebenarnya sewa Rusun yang disediakan Pemkot Tangerang itu.

Salah seorang warga Palem Nuri, Mustaki mengatakan tidak bisa menyanggupi biaya sewa rusun yang dipatok tinggi. Kata dia, sebuah rusun yang dijanjikan oleh Ketua RT harus membayar biaya awal Rp 1,5 juta. Sedangkan untuk biaya bulanan dikenakan Rp 800 ribu. Hal tersebut, kata dia, dinilai sangat memberatkan keluarganya, yang hanya berprofesi sebagai kuli serabutan.

Informasi yang diterima warga terkait rusun berbeda dengan apa yang dikatakan Wali Kota Tangerang Arief R. Warmansyah. Menurut Arief, biaya sewa rumah susun hanya berkisar Rp 200 hingga Rp 300 ribu per bulan.

Warga lain, Sugani mengatakan jika benar Wali Kota Tangerang menyediakan Rusun dengan biaya sewa dipatok Rp 200-300 ribu per bulan, kemungkinan warga akan banyak yang menginginkan hal tersebut.

Oleh karena itu, lanjut Sugani, sebaiknya Wali Kota Tangerang memberikan penjelasan langsung kepada warga terkait relokasi. Tidak satu kali warga ditipu oleh oknum-oknum tertentu yang memberikan janji pengurusan sertifikat hak milik tanah, warga bahkan kerap dimintai uang sewa tanah saat rumah-rumah mereka masih berdiri oleh oknum tertentu. "Datang ke sini, lihat kita," jelas dia.

Tak akan kuat membayar sewa yang isunya mencapai Rp 1,5 juta per bulan adalah salah satu alasan warga tidak mau direlokasi. Mereka memilih bertahan di lahan bekas penggusuran.  Tidak hanya tinggal di lahan bekas penggusuran, ada juga warga yang tinggal di kuburan. 

Salah satunya keluarga Ilyas (36). Mereka tidur di atas lahan kuburan dengan membuat atap penghalang air hujan dari terpal yang diikat ke pohon-pohon yang tumbuh di kuburan. Ilyas dan keluarganya terlihat meringkuk tidur di atas kasur yang di bawahnya terdapat makam.

Mustaki kembali bercerita warga mulai terserang penyakit lantaran tempat yang bisa dikatakan tak layak untuk ditinggali. paruh baya dengan rambut ikal penuh uban tersebut mengatakan, beragam penyakit yang disebabkan angin malam yang dingin membuat beberapa warga terserang demam, dan penyakit lainnya seperti batuk dan pilek.

 
 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement