REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi pengusaha Indonesia (Apindo) menilai kewajiban sertifikasi halal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) berpotensi merugikan industri. Selain industri makanan dan minuman, Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan, industri farmasi juga akan ikut terpukul dengan adanya kebijakan baru tersebut.
Ia menjelaskan, produk yang dihasilkan industri farmasi di Tanah Air hingga saat ini masih menggunakan bahan baku yang sebagian besar barang impor. Apabila produk tersebut ingin mendapat sertifikat halal, maka dibutuhkan biaya yang sangat besar karena proses audit harus dilakukan sampai ke luar negeri.
Hariyadi mengaku pernah berdiskusi dengan salah satu perusahaan farmasi asal Amerika Serikat yang menyebut bahwa perusahaannya membutuhkan biaya 80 juta dolar AS apabila ingin mengurus sertifikat halal untuk satu produk. Biaya yang sangat besar itu tentu akan membuat produk mereka menjadi tidak kompetitif.
"Sudah pasti barang dia akan keluar dari Indonesia," tutur Hariyadi, saat ditemui wartawan di kantornya, Selasa (5/12).
Karena itu lah, Hariyadi mendesak DPR, yang pertama kali berinisiatif mengusulkan Undang-Undang Jaminan Produk Halal, untuk merevisi pasal dalam UU tersebut yang menyatakan bahwa sertifikat halal adalah sebuah kewajiban. Baginya, pasal itu bertentangan dengan konsep halal yang berlaku dalam ajaran Islam. Sebab, produk yang sebenarnya dihalalkan dalam ajaran agama berpotensi dicap haram hanya karena tidak memiliki label halal.