Selasa 05 Dec 2017 04:48 WIB

Ridwan Kamil dan Paradoks Bandung

Proyek penanggulangan banjir di Jalan Dr Djunjunan atau dikenal Jalan Pasteur, Kota Bandung, mulai dilaksanakan, Selasa (19/9). Hingga pertengahan Oktober, Jalan Pasteur akan mengalami kendala kemacetan karena proyek tersebut.
Foto: Republika/Edi Yusuf
Proyek penanggulangan banjir di Jalan Dr Djunjunan atau dikenal Jalan Pasteur, Kota Bandung, mulai dilaksanakan, Selasa (19/9). Hingga pertengahan Oktober, Jalan Pasteur akan mengalami kendala kemacetan karena proyek tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fathul Wahid, Dosen Program Magister Informatika Universitas Islam Indonesia (UII)/Chief Information Officer UII.

Bandung dicatat sebagai kota dengan beragam prestasi. Pada akhir September 2017 lalu, Ridwan Kamil, wali kota Bandung, dalam perayaan HUT ke-207, membeberkan prestasi kota yang dijuluki Paris van Java ini.

Sebanyak 267 penghargaan didapatkan dari beragam tingkat: provinsi, nasional, hingga internasional. Salah satu prestasi yang dicapai adalah pemanfaatan teknologi informasi di berbagai sektor dan dibungkus dengan jargon smart city, kota cerdas.

Contohnya adalah inovasi pelayanan perizinan daring, yang menghilangkan interaksi lansung antara warga dan petugas. Dokumen izin dikirim ke rumah pemohon melalui pos. Inovasi ini yang diluncurkan pada akhir Mei 2017 dan melayani 24 jenis izin.

Harapan yang digantungkan adalah penghilangan praktik suap, termasuk pungutan liar. Prestasi ini pun diapresiasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan menjadikan Bandung sebagai pencontohan nasional.

Pada awal November 2017, sebuah seminar yang dihadiri oleh undangan dari banyak provinsi dan kabupaten/kota diadakan. Bandung juga pernah ditunjuk oleh KPK sebagai tuan rumah puncak peringatan Hari Anti Korupsi Internasional (HAKI) 2015.

Sebuah prestasi yang memunculkan harapan besar akan masa depan Indonesia yang semakin cerah. Namun, pada 22 November 2017, seakan petir menyambar Bandung pada siang bolong. Hasil survei Transparansi Internasional Indonesia (TII) terhadap 1.200 pelaku usaha di 12 kota di Indonesia, mengungkap potret buram kota ini.

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) teranyar ini menempatkan Bandung berada pada posisi ketiga terbawah dengan skor 57,9 poin, di atas Makassar 53,4 dan Medan 37,4. Ketiga kota ini di bawah rata-rata nasional, 60,8 poin (skor 100 menunjukkan kota bebas korupsi).

Informasi dari responden menempatkan Bandung dengan nominal suap terbesar. Pelaku usaha mengaku harus memberikan suap setara 10,8 persen dari total biaya produksi. Angka yang sangat fantastis.

Perizinan adalah salah satu sektor yang terdampak, selain pengadaan barang/jasa, dan penerbitan kuota perdagangan. Publik pun akan mudah mengingat kembali kejadian awal 2017, ketika kepala dinas yang mengawal proses perizinan ditangkap tangan oleh KPK.

Paradoks tampaknya adalah sebuah kata yang bisa mewakili kondisi Bandung saat ini. Paradoks Bandung! Apakah paradoks ini hanya terjadi di Bandung? Atau, jangan-jangan paradoks serupa juga terjadi di tempat lain? Bagaimana menjelaskan paradoks ini?

Pertama, Prahalad dalam bukunya The Fortune at the Bottom of the Pyramid yang terbit pada 2004 telah memprediksi hal ini. Menurut studi yang dilakukannya, penggunaan teknologi informasi di sektor publik tidak serta merta dapat menghilangkan korupsi.

Justru, pada tahap awal adopsi, korupsi akan meningkat. Bahkan bisa jadi, proses pengadaan teknologi informasi dan sistem pengisinya juga membuka peluang kebocoran baru. Kasus KTP elektronik adalah contoh nyata di depan mata.

Selain itu, mengubah pola pikir publik juga membutuhkan waktu. Mengedukasi publik bahwa sistem yang baru sudah tidak kompatibel dengan pola pikir lama bukanlah pekerjaan mudah.

Masalahnya adalah misteri lama waktu yang dibutuhkan sampai dampak penggunaan teknologi informasi menunjukkan dirinya. Tak seorang pun yang tahu jawabannya.

Kedua, paradoks ini juga dapat terkait masalah legitimasi organisasi. Legitimasi bersumber dari otorisasi entitas di atasnya atau dukungan dari entitas setingkat atau di bawahnya. Dalam kasus ini, Bandung telah mendapatkan otorisasi dari KPK.

Dukungan dari lembaga setingkat pun sudah didapatkan. Inilah yang menghadirkan potret cerah Bandung. Namun, IPK 2017 yang dirilis TII mempertanyakan kembali legitimasi yang sudah mulai mapan ini.

Apa pelajaran moral yang didapat dari kasus ini?

Legitimasi tetap diperlukan untuk menjaga eksistensi organisasi, tapi jangan sampai hal ini melupakan substansi yang jauh lebih penting. Legitimasi, jika salah dipahami akan seperti kosmestik penutup wajah bopeng.

Mencapai perubahan yang substantif memerlukan waktu. Namun, dalam konteks ini, kita tidak bisa lagi mengatakan, misalnya, "biarlah kebocoran di bawah meja tetap terjadi, yang penting pemasukan dari layanan perizinan sesuai dengan tarif yang ditetapkan".

Jika ini dianggap wajar dilakukan, ingat Teori Jendela Pecah. Apa yang terjadi jika jendela pecah di sebuah gedung dibiarkan? Jangan heran dan kaget, kalau muncul persepsi bahwa gedung tidak terurus dan pada hari-hari berikutnya semakin banyak jendela yang pecah. Semoga bukan ini yang terjadi! n

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement