Selasa 05 Dec 2017 05:47 WIB

Petualang Kekuasaan

Arif Supriyono, wartawan Republika
Foto:

Petualang politik juga akan abai terhadap janji yang telah diikrarkan pada khalayak luas. Janji-janji untuk memegang amanah atau jabatan hanya dianggap bunga-bunga pelengkap dari program dan daya pikat yang ditawarkan pada masyarakat  pemilih atau konstituennya. Oleh karenanya, kewajiban untuk memenuhi janji bukan lagi sebagai hal yang wajib dilaksanakan. Janji hanya dianggap sebagai upaya. Kalau upaya itu sengaja tak dipenuhi, bukan suatu hal yang perlu dipersoalkan.

Berharap banyak kepada petualang politik tentu akan sia-sia. Ya karena orientasi mereka bukanlah pengabdian kepada rakyat tetapi bagaimana cara mendapatkan kekuasaan yang lebih tinggi. Setiap tokoh pada dasarnya ingin bisa menduduki jabatan strategis atau tinggi. Hal itu dianggap sebagai puncak pencapaian atau prestasi tertinggi dalam kiprahnya di panggung politik. Akan tetapi, mestinya mereka juga tidak mengabaikan etika dan norma yang ada.

Apabila memang ada ketentuan mereka menjabat selama lima tahun, mestinya selama itu pula mereka harus melaksanakannya. Kalau tidak bisa memenuhi masa jabatan lima tahun dan kemudian berancang-ancang untuk meraih kekuasaan yang lebih tinggi, maka mereka sebenarnya telah melakukan kebohonngan publik. Lebih ekstrem lagi, mereka mengingkari aturan (undang-undang) yang menetapkan, bahwa masa kerjanya adalah lima tahun.

Ya saya memang sedang menyoroti elite politik kita yang begitu mudahnya tergiur untuk mencari posisi lebih tinggi dengan menanggalkan jabatan yang sedang diembannya dan belum ditunaikan  setengah jalan. Saya menganggap ini contoh yang tidak baik. Elite politik model ini saya samakan dengan petualang kekuasaan. Nalurinya hanya ingin mengejar kuasa yang lebih tinggi dan ini berdampak pada rakyat yang telah memilihnya.

Harapan rakyat agar terpenuhi hajat hidupnya dengan lebih baik, saat memilih pemimpin tersebut, menjadi sia-sia. Hanya dua tahun menjabat sebagai penguasa, tentu tak banyak yang  bisa diwujudkan terhadap janji-janji yang dengan suara lantang diungkapkan di depan publik. Bukan tak mungkin pula banyak masyarakat yang menjatuhkan pilihannya lantaran janji-janji manis yanag ternyata palsu belaka itu.

Saya berharap masyarakat mulai mempersoalkan tentang keharusan memenuhi masa jabatan kepala daerah dalam menjalankan amanahnya. Bila masyarakat tak peduli, saya yakin di masa mendatang akan makin banyak kepala daerah yang tinggal glanggang colong playu di tengah jalan terhadap sianggasana yang didudukinya untuk berburu posisi yang lebih tinggi.

Pemerintah pun perlu memikirkan jalan keluar terbaik, misalnya membuat aturan yang mewajibkan kepala daerah untuk menjabat minimal 4 tahun. Sebelum masa itu, kepala daerah tak diperkenankan mundur hanya untuk berlari kencang menyentuh finis sebagai pejabat dengan tingkat dan kekuasan yang lebih tinggi. Calon kepala daerah harus sepenuhnya menyadari, bahwa dia dipilih untuk masa jabatan lima tahun, kecuali di tengah jalan mengalami kondisi darurat atau memaksa (misalnya ketidakberdayaan menyeluruh, sakit berkepanjangan, dan pelanggaran mendasar). Dia harus menerima konsekuensi, bahwa bila sudah menjabat kepala daerah, maka tak akan melirik posisi lain sampai selesai masa jabatan yang dipikulnya.

Akan jauh lebih baik bila etika dan norma ini ditegakkan. Semua hal yang sudah terjadi maupun contoh buruk dalam hal meninggalkan jabatan di tengah jalan, mungkin bisa kita maklumi saja. Ibaratnya, yang lalu biarlah berlalu. Anggap saja itu proses pembelajaran bagi jalan panjang demokrasi yang akan kita tempuh.

Selanjutnya, hendaknya jangan terus kita menyediakan lahan subur bagi tumbuh dan lahirnya para petualang kekuasaan. Harus ada upaya serius untuk memperbaiki kondisi ini dan menghentikan jejak langkah para petualang kekuasaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement